sang revolusioner jalan pembebasan atau jalan munuju tangga kekuasaan ?



Oleh : Ricki Maldini







Sesuatu yang menarik membahas tentang konsep revolusioner, bagaimanapun revolusioner berkaitan dengan konsep perkembangan, perubahan, dan berkelanjutan dalam ilmu sejarah dialah yang mengkonstruksi realitas sosial sampai dimana saatnya kita harus menjalani hidup. Tapi disini saya akan membahas bagaimana konsep revolusioner akhirnya menjadi sebuah gerakan yang membangun sebuah peradaban.
Dalam artian Paulo Freire sang revolusioner berarti individu atau suatu kelompok yang memegang teguh nilai-nilai manusiawi tanpa penindasan diantaranya, sang revolusioner juga adalah orang yang mementingkan sisi dialog bagi konstruksi dunia yang lebih baik. Namun dalam pandanganya Freire juga mengatakan sifat revolusioner yang keluar dari hakikatnya, yakni revolusioner yang merasa dirinya adalah peramu realitas sosial, yang memainkan simbol-simbol kosong demi sebuah kekuasaan.
Lalu pertanyaanya bagaimana sifat revolusi yang digerakan oleh sang revolusioner dalam konteks Indonesia ?
Fase pertama, bisa dikatakan ini adalah masa membangun identitas nasional bagaimana sebuah wilayah yang luas, etnis, ras, dan agama yang multikultural disatukan oleh para revolusioner untuk menumbangkan kekuasaan asing yakni pemerintah kolonial Belanda. Fase ini bisa dikatakan sang revolusioner menjalankan hakikatnya sebagai pejuang sejati tanpa iming-iming materialistik.
Fase kedua, yakni dimana ketika Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaanya pada 17 agustus 1945, pada masa ini sifat sang revolusioner bisa dideskripsikan sedikit kehilangan hakikatnya, karena berbagai aliran ideologis, partai politik, golongan saling mementingkan dirinya sendri, namun karena atmosfer kemerdekaan masih hangat belenggu penjajahan baru saja berlalu sifat revolusioner kontradiksi ini bisa dinetralkan dengan semangat nasionalisme,
Fase ketiga, yakni memasuki era orde lama Soekarno semakin kuat dengan dicetuskanya demokrasi terpimpin pada tahun 1959, membuat keran demokratisasi tertutup Negara dibawah komando Soekarno dan golongan pendukungnya. Apakah ini lebih baik atau tidak ? yang jelas bagi saya ini adalah suatu pengkhianatan atas Pancasila dan UUD 1945. dalam masa ini sifat revolusioner mulai setengah memudar karena elite penguasa mengkhianati amanat rakyat, aspirasi rakyat tentang sebuah hak kebebasan berpendapat dan menyampaikan apa yang harus juga dipikirkan oleh rakyat.
Fase keempat, memasuki era orde baru pergantian nama atas aturan-aturan lama, namun dalam praktiknya  sama saja dengan aturan lama. Fase ini Soeharto berkuasa sangat kuat dilingkari trio ABG (abri, birokrasi, golkar). Semakin parah karena rezim ini sangat militeristik. Intimidasi, penculikan, hukum tanpa pengadilan, larangan bersuara adala ciri khas rezim tersebut. Tentunya, sifat revolusioner yang tersematkan rezim ini bisa dikatakan hampir habis, hakikatnya hampir tidak terlihat. Memang dalam sisi ekonomi rezim ini patut diacungi jempol, namun dalam sisi kemanusiaan rezim ini menciptakan manusia-manusia layaknya robot yang harus digerakan.
Fase kelima, yakni fase setelah era reformasi dimana segala kebobrokan sistemik masa lampau dibenahi, dibukanya keran demokrasi mengakibatkan kencangnya arus aspirasi. Tetapi ini merupakan kemajuan setelah keran demokrasi ditutup dari tahun 1959-1998. Kita baru belajar lagi layaknya anak kecil yang ingin mengetahui seluk beluk tentang sesuatu, begitupun kita di Indonesia kita baru belajar demokrasi secara praktik, mungkin secara teori kita sudah paham lewat bangku sekolah.
Bagimana sifat revolusioner pada masa ini, menurut saya meninjau dari kacamata Paulo Freire sebenarnya sudah baik bahkan fase ini diibaratkan menaikkan lagi level hakikat dari revolusioner itu sendiri. Sekarang dimana masa warga Negara bisa menyampaikan aspirasi, apa yang dirasakanya, pengalamanya, keluhanya dan seterusnya dapat menyampaikanya lewat media sosial, itu merupakan kemajuan besar!
Bagaimana kemudian hakikat sifat revolusioner itu bermuara ke tangga kekuasaankah atau dia sebagai jalan pembebasan fikiran serta tindakan yang berpijak pada nilai-nilai luhur Bangsa, saya tentu harus mengatakanya tergantung kepada dinamika sosial elite penguasa serta rakyat umum dimana keduanya harus memainkan startegi ceck and balance, dimana kehidupan terjangkit oleh budaya yang sakit niscaya akan menghasilkan output kehidupan yang sakit juga, kesadaran fikiran tentang kemanusiaan itu sendiri adalah pangkalnya kemudian dia harus mengarahkanya pada kebijakan bangsa bagaimana menciptakan sebuah masyarakat yang sehat. Kemudian tentang sebuah mentalitas hal ini yang harus diperhatikan dari pada kebijakan pemerintah.
Menurut saya demonstrasi 411 dan 212 adalah konsekwensi dari Negara yang memilih demokrasi sebagai sistemik nya, ini harus dijaga, dirawat, dan kembangkan lebih cantik lagi, nah sekarang tinggal tanggapan pemerintah bagaimana seharusnya hukum itu berlaku ? Memang sulit untuk menentukan mana yang benar dan salah, tetapi lebih sulit lagi kalau benar dan salah itu ditunggangi kepentingan golongan. Sebagai warga Negara saya percaya pada aparatur Negara untuk mengatur sekelumit oersoalan yang sedang hangat ini menjadi suatu keputusan yang bijaksana agar tidak terjadinya cerai berai, bagaimanapun integrasi harus tetap dijaga dalam iklim demokasi kita.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Bappenas Pernah Jadi Monumen Yahudi ?