FILSAFAT PRAKSIS, REVOLUSI OKTOBER & KEGAGALANYA DI EROPA BARAT


Oleh Ricki Maldini [1]




Kita akan coba memencari sebab-sebab mengapa revolusi proletar yang di kumandangkan oleh Karl Heinrich Marx dan sahabatnya Frederich Engles ini gagal diterapkan di Eropa Barat yang notabenya adalah Negara-negara yang diramalkan keduanya itu akan menjadi Negara komunis, karena di Negara-negara Eropa Barat lah industrialisasi sudah sangat maju, yang dalam perkataan Marx yaitu ‘ High Capitalism’ kapitalisme tingkat tertinggi.

Marx membangun landasan teoritisnya atas dasar praktik, yaitu dengan menganalisis kondisi sosial masyarakat (benua sejarah). Marx juga mengambil pola teoritis befikirnya yaitu dari filsuf besar berkebangsaan jerman G.W.F Hegel yang menjadi guru dalam referensi-referensi bacaan Marx. Dialektika idealism Hegel yang kata marx yaitu tidak sesuai dengan realitas masyarakat, diubah menjadi dialektika materialism, yang diambilnya melalui ‘tesis of Feurbach’ menjadikan proses memikirkan suatu kondisi sosial tidak dalam ranah idealism, tetapi dalam ranah materialism (kebendaan) objek yang sesuai dalam kondisi suatu masyarakat. [2]

Berangkat dari hal tersebut Marx dan Engles membuat suatu gagasan tentang suatu susunan masyrakat yang adil dan sejahtera tanpa penghisapan. dari pisau analisis materialism dialektika dan materialism historis inilah Marx dan Engles melihat ketimpangan dalam suatu masyarakat dalam tingkat kapitalisme. Kapitalisme menyebabkan suatu penghisapan atas para pekerjanya dan akhirnya menjadikan kelas-kelas yang terpisah antara kelas borjuis (capital) dan kelas buruh (proletar). Dari pristiwa tersebut mengakibatkan sang borjuis semakin kaya karena mempunyai modal usaha dan memeras tenaga kaum buruh untuk kepentinganya sendiri, dan kaum buruh semakin miskin karena semakin terikat oleh waktu (jam kerja) dan mengakibatkan kaum buruh ini teralienasi dari dunia objektifnya. Membuat kaum buruh semakin tercerabut dalam akar sosialnya dalam suatu masyarakat dan mmbuat suatu kedigdayaan kaum borjuis untuk menegakan dan mengatur dominasinya dalam suatu kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya. [3]

Kedua bapak pendiri komunisme itu sebenarnya menganalisis dan meramalkan, suatu masyarakat komunis akan bangkit dan mendirikan Negara kelas pekerja, Negara tanpa penghisapan, Negara sama rata sama rasa. Yaitu di Negara yang tingkat kapitalismenya sudah tingkat tinggi, contohnya seperti di Eropa Barat, karena keduanya berpendapat dengan pisau analisis materialism dialektika dan historis bahwa, ketika capital itu telah berada dalam tahapan tertinggi maka tidak bisa disangkal lagi bahwa akan terjadi penyadaran-penyadaran bagi para kelas pekerja karena mereka telah ditindas, dimiskinkan, di alienasikan dalam suatu masyarakat. Dan Marx dalam das manifesto komunis juga mengatakan bahwa organisasi revolusi harus dipimpin oleh diktatur proletariat untuk menciptakan dan mewujudkan sebuah Negara dalam paham komunisme dan menghancurkan sisa-sisa kelas pekerja.

Namun meleset dari apa yang dipikirkan dan diramalkan Marx bahwa komunisme akan muncul di Negara yang kapitalismenya telah memasuki tahap tertinggi yaitu di wilayah Eropa Barat seperti Inggris, Jerman, Perancis dll. Justru Negara kelas pekerja pertama yang muncul untuk pertama kalinya di dunia yakni di Uni Soviet, yang justru masih dalam kategori yang industrialisasinya masih belum maju. Uni Soviet masih berbasiskan pertanian. Yakni Vladimir Lenin, yang memimpin dan mewujudkan keberhasilan revolusi oktober 1917, dengan menggulingkan kekuasaan Tsar yang telah berkuasa sekian ratus tahun. Dengan direbutnya Rusia, maka Lenin dan pemimpin Bolsevisk lainya mendirikan sebuah Negara kelas pekerja pertama yang berdiri di muka bumu ini. yaitu USSR, dengan berlandaskan ajaran Marxisme. Lenin mencampurkan ajaran Marx dengan apa yang ia tafsirkan dengan kondisi di Uni Soviet.

Negara dn Revolusi yang di tulis Lenin pada ttahun 1917, adalah sebuah landasan bagi komunisme di Soviet dengan menjadikanya sebagi Marxisme-Leninisme, berisi ajaran-ajaran tentang paham Marx dan Tafsir dan gagasan-gagasan Lenin untuk Uni Soviet yang baru berdiri. [4]

Lenin dalam Negara dan Revolusi, juga menafsirkan apa yang dibilang Marx tentang diktatur proletariat. Lenin menjadikan dirinya sebagai pemimpin proletariat untuk mewujudkan sebuah Negara yang berbasiskan Negara pekerja. Dalam usahanya itu, Lenin harus memghapuskan sisa-sisa para kelas feodalisme dan juga borjuisme yang masih berkeliaran di Uni Soviet. Dan menginsyafkan mereka agar tidak lagi menjadi para penghisap. Karena mewujudkan Negara yang berbasiskan komunisme itu butuh proses yang sangat lama. Maka dibutuhkan sang diktatur proletariat. [5]

Setelah kematian Lenin pada tahun 1924, isu kepemimpinan tertinggi Soviet atau yang biasa disebut diktatur proletariat ini menjadi perebutan sengit antara Trotsky dan Stalin. Lenin yang tidak sempat menunjuk penggantinya sebelum kematianya itu, meninggalkan sebuah kursi panas Soviet untuk diperebutkan. Sebenarnya Lenin lebih suka Trotsky sebagai penggantinya, karena ia (Trotsky) adalah teman seperjuangan Lenin dalam revolusi Bolsevisk merebut kekuasaan Tsar yang feodalistik.  Teetapi dengan kelicikan dan lobi politiknya Stalin yang sebelumnya menjabat sebagai Sekertaris Jendral partai Komunis ini lebih lihai, untuk mendapatkan dukungan sebagai pemimpin tertinggi USSR.

Era Stalin dalam memerintah Uni Soviet, terlihat banyak perbedaan dari pendahulunya Lenin. Lenin berpendapat bahwa saja Soviet sudah mampu untuk berjalan sendiri tanpa penghisapan dan tanpa kelas tidak dibutuhkan lagi sebuah Negara. Namun dalam gagasan Stalin, ia berbeda dari apa yang disampaikan Lenin. Bahwa kata Stalin, Negara masih dibutuhkan untuk mewujudkan tahap tertinggi dari Negara kelas pekerja yaitu komunisme yang saat itu masih dianggap Stalin masih dalam tahap sosialisme.

Dalam kepemimpinnya Stalin terlihat banyak menyimpang dari pada cita-cita Marxisme-Leninisme dengan memimpikan sebuah Negara tanpa penghisapan, tanpa kelas. Stalin mengartika diktatur proletariat tidak seperti Lenin yang hanya sebagai jembatan menuju ke masyarakat komunisme, masyarakat sosialisme tahap tertinggi. Stalin mengartikan bahwa diktatur proletariat berarti, dirinya berkuasa penuh atas keputusan-keputusan Uni Soviet. Inilah yang menjadikan dirinya sebagai pemimpin yang sangat otoriter dan kejam. Dan ia juga banyak meleset dari pada cita-cita pedoman Negara Marxime-Leninisme, seperti apa yang di kritik Trotsky atas dirinya.

Kritik Trotsky atas dirinya  termuat dalam buku revolusi yang dikhianati, yakni memuat point-point yang disalah arahkan oleh Stalin dalam memerintah Uni Soviet. Seperti kritik Trotsky dalam Thermidor Soviet. Thermidor adalah istilah yang digunakan Trotsky untuk merujuk pada kaum birokrasi Soviet yang telah mengkhianati revolusi oktober. Secara lebih umum, Thermidor menandai epos dimana rakyat mulai letih dengan elemen-elemen yang lebih konservativ dan birokratis mengambil alih dan menyimpang dari cita-cita revolusi. [6]

Dari apa yang disampaikan oleh Leon Trotsky terlihat bahwa, dalam kepemimpinanya ini ia (Stalin) menyimpang dari cita-cita revolusi 1917 yang mendasarkan bahwasanya, Uni Soviet ini harus menjadi pelopornya Negara kelas pekerja dan diharapkan dengan dukunganya sebagai markas besar komunisme ini revolusi proletar akan menjalar ke seluruh dunia. Namun apa yang dilakukan Stalin dalam kepemimpinanya ini tak lebih dari pada kepemimpinan Negara kapitalistik dalam topeng komunisme. Adalah juga paham yang betentangan dengan Trotsky dalam kebijakan Negara Soviet terhadap parta-partai komunis di luar Uni Soviet. Yaitu kea rah mana Soviet harus menanamkan sebuah revolusi komunis di dunia, apakah memperkokoh Uni Soviet sebagi roll model komunisme dunia dan menutup diri terhadap para peminta bantuan dari partai-partai komunis di Eropa. Dengan mendasarkan kebijakan Stalin kepada penguatan komunisme dalam negeri Uni Soviet inilah, yang membuat revolusi proletar di Eropa Barat terhambat karena minimnya bantuan dari Uni Soviet, karena juga Soviet sibuk berlomba-lomba dengan Negara-negara kapitalis barat dalam hal teknologi, yang ini artinya adalah menyimpang dari pada cita-cita Mrxisme-Leninisme, Negara tanpa kelas dan tanpa penghisapan. Dengan bertindak seperti itu, Stalin telah mengesampingkan hak-hak yang harusnya di dapat para buruh, petani dan masyarakat-masyarakat kecil. Bahkan rezim totaliter ini menghisap rakyatnya sendiri, menjual hasil jerih payah mereka dan dijual kepada pemerintah dengan harga yang murah. Hanya untuk bersaing dari segi teknologi dan militer kepada Negara-negara kapitalistik barat. [7]

Apa yang dibilang Trotsky bahwa, Uni Soviet harus lebih terbuka dan membantu juga partai-partai komunis diluar Soviet itu, saya sepakat denganya, bahwa apa yang dilakukan Stalin dengan egoism kepemimpinanya membuat revolusi di belahan dunia lain khususnya di Eropa tidak berhasil karena Soviet egoism dan tidak mau membantu partai-partai diluar Soviet. Hal tersebut karena para partai-partai komunis di Jerman, Italia, Inggris dan lain-lain. Tidak didukung dengan Soviet dan saling bersinergi antara partai komunis di dunia lainya, mungkin juga karena kegagalan comintern III.  Mengakibatkan munculnya Fasisme di Italia dan Jerman dan semakin berkuasanya borjuasi Inggris melanggengkan kekuasaanya.

Kemudian kita juga bisa melihat apa yang ditulis francis fukuyama dalam ‘the end of history’ yang meramalkan bahwa komunisme kiri telah hancur lebur ditandai dengan dihancurkanya tembok berlin dan terpecahnya Soviet menjadi beberapa Negara merdeka. Kita bisa ambil kajian dari Francis Fukuyama ini untuk menganalisis juga sebab-sebab tidak menjalarnya revolusi proletar ke Eropa Barat, yaitu Pesimisme dan Reaksinya.
            Fukuyama mengawali penjabaran panjangnya mengenai tesis akhir sejarah ini dengan kegelisahan dan pesimisme yang terjadi di kalangan masyarakat dunia mengenai kepastian tesisnya tentang kemajuan sejarah yang berujung pada kejayaan demokrasi liberal. Pesimisme ini terjadi karena dua faktor yang saling berkaitan: krisis politik pada abad ke-20 dan krisis intelektual dari rasionalisme Barat.

            Krisis politik yang terjadi akibat dua perang dunia itu telah menelan korban puluhan juta orang dan memaksa ratusan juta lainnya hidup di bawah bentuk-bentuk perbudakan baru yang lebih brutal. Pada saat yang sama, demokrasi liberal dibiarkan tanpa sumberdaya intelektual yang sejatinya digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dirinya. Padahal, pada abad sebelumnya, abad ke-19, mayoritas Negara Eropa berpikir bahwa kemajuan yang dimaksud adalah kemajuan menuju demokrasi (liberal). Tapi tidak kenyataannya pada abad ke-20. Pada abad itu, beragam peristiwa traumatik akibat tragedi dua perang dunia menjadi krisis kepercayaan bagi mayoritas orang Eropa saat itu. Pada abad ini, demokrasi (liberal) telah ditantang oleh dua kompetitornya, fasisme dan komunisme, yang mengusulkan visi yang sangat berbeda mengenai masyakarat yang baik.

            Pada abad ini, bayangan manis tentang demokrasi itu sirna. Pesimisme akibat faktor di atas itu akhirnya memicu keyakinan baru di kalangan masyarakat dunia akan hadirnya alternatif baru, yaitu alternatif komunis-totalitarian sebagai ganti dari demokrasi liberal. Namun sayangnya, lagi-lagi alternatif ini tidak melahirkan apa yang diimpikan, alih-alih melahirkan krisis baru.

            Di satu sisi, pemerintahan otoritarian sayap kanan di Eropa Selatan satu-persatu runtuh menjadi bukti rapuhnya legitimasi ideologi yang dianutnya. Jatuhnya serangkaian pemerintahan otoritarian sayap Kanan di Eropa Selatan inilah yang oleh Fukuyama dianggap sebagai krisis otoritarianisme .

            Krisis itulah yang mendesakkan serangkaian upaya transisi menuju demokrasi di berbagai belahan dunia. Negara-negara di Eropa Selatan, misalnya, terjadi proses transisi menuju demokrasi dan berhasil cukup stabil. Begitu juga di Amerika Latin pada tahun 1980-an. Di Peru misalnya berhasil melakukan restorasi pemerintahan yang terpilih secara demokratis setelah 12 tahun di bawah cengkraman kekuasaan militer. Di Argentina, perang Falkland/Malvinas pada tahun 1982 memuluskan runtuhnya junta militer dengan terbentuknya pemerintahan Alfosin yang terpilih secara demokratis. Proses transisi di Argentina ini pun diikuti beberapa negara lain di Amerika Latin semisal Uruguai pada tahun 1983 dan Brazil pada tahun 1984 yang berhasil meruntuhkan rezim militer. Begitu juga rezim Stroessner di Paraguai dan Pinochet di Chile pun memberi jalan bagi pemerintahan yang terpilih secara popular dan demokratis.

            Fenomena serupa juga terjadi di wilayah Asia Timur. Pada tahun 1986, pemerintahan diktator Marcos berhasil digulingkan di Filipina dan digantikan oleh Corazon Aquino; Jenderal Chun, pada tahun berikutnya, menyerahkan jabatan di Korea Selatan dan memberikan peluang bagi terpilihnya Roh Tae Woo. Dan banyak kasus lagi yang menjadi fenomena runtuhnya negara-negara kuat di berbagai belahan dunia akibat krisis otoritarianisme. Dan sebagai gantinya adalah apa yang disebut pemerintahan demokratis.

            Di pihak yang lain, totalitarianisme yang berkembang paska PD II di Soviet dengan komunismenya dan Jerman dengan Nazinya pun tidak kuasa bertahan. Tantangan-tangan eksternal dan kerapuhan internal menjadi faktor pemicunya. Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya tembok Berlin, pertarungan ideologi besar tidak lagi terjadi. Adalah Soviet (Komunis) yang menjadi kompetitor Amerika (Kapitalis) telah ambruk. Ini terjadi karena krisis legitimasi totalitarianisme sebagai sebuah sistem secara keseluruhan. Tidak saja karena faktor ekonomi, tetapi lebih dari itu adalah faktor supervisi pikiran. Inilah fenomena yang menonjol dalam paham totalitarianisme.

            Oleh karena itu, baik komunisme kiri maupun otoritarianisme kanan sama-sama gagal mempertahankan ideologinya. Kelemahan Negara-negara otoritarian kanan terletak pada kegagalan mereka untuk mengontrol masyarakat sipil. Sementara totalitarianisme kiri menghindari persoalan tersebut dengan mensubordinasikan seluruh elemen masyarakat sipil di bawah control mereka, termasuk apakah para wartawan Negara itu boleh berpikir.

            Karena kelemahan-kelemahan ‘negara kuat’ (kominisme kiri dan otoritarianisme kanan) itulah, maka banyak negara-negara yang menerapkan sistem itu mulai membuka jalan untuk demokrasi. Ini secara politis. Selain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu, Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi. Ini misalnya terlihat dari perkembangan ekonomi yang fenomenal di Asia Timur sejak PD II. Kisah sukses ini tidak saja terjadi pada Negara-negara modern awal semisal Jepang, tetapi juga semua Negara Asia yang bersedia mengadopsi prinsi-prinsip pasar dan mereka sepenuhnya mengintegrasikan dengan sistem ekonomi global-kapitalis. Sejak itu, slogan privatisasi dan perdagangan bebas menggantikan slogan nasionalisasi dan substitusi impor. Di sinilah tampak bahwa krisis yang terjadi pada otoritarianisme 
dan sosialisme hanya menyisakan satu pesaing tangguhnya, yaitu demokrasi liberal.

            Liberalisme dan demokrasi sebenarnya merupakan konsep-konsep yang berbeda meskipun antara keduanya ada keterkaitan yang erat. Liberalisme politik secara sederhana dapat didefinisikan sebagai suatu aturan hukum yang mengakui hak-hak tertentu individu atau kebebasan dari kontrol pemerintah.Sedangkan demokrasi, sebagai mana dalam definisi Lord Bryce menyebutkan setidaknya tiga elemen mendasar dalam demokrasi, yaitu: hak-hak sipil hak-hak beragam, dan hak-hak politik. Dengan demikian, untuk menilai Negara manakah yang layak disebut demokratis, yaitu ketika Negara memberikan kepada rakyatnya hak untuk memilih pemerintah sendiri melalui pemelihan secara periodic, bebas, dan rahasia, menggunakan system multi partai, atas dasar hak pilih orang dewasa yang sederajat.

            Dalam manifestasi ekonominya, liberalisme adalah pengakuan terhadap hak-hak untuk melakukan aktivitas ekonomi bebas dan pertukaran ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi dan pasar. Singkatnya adalah ekonomi pasar bebas, sebagai istilah lain dari kapitalisme yang belakangan istilah ini dikonotasikan secara pejorative.[8]
Dari pengalaman rezim-rezim pemerintahan dalam perjalanan sejarah manusia, dari pemerintahan monarki dan aristokrasi, teokrasi religius, hingga pemerintahan diktator fasis dan komunis abad ini, tampaknya demokrasi liberal merupakan satu-satunya rezim pemerintahan yang paling bertahan hingga akhir abad ke-20. Kenyataan inilah yang mengukuhkan tesis Fukuyama mengenai apa yang ia sebut sebagai ‘akhir sejarah’. Dan sejarah dalam perjalanannya benar-benar tunggal, tanpa kompetitor dengan kemenangan demokrasi liberal. Keyakinan inilah yang mengantarkan Fukuyama untuk mengurai apa yang ia sebut sebagai sejarah universal.

2. Kemungkinan Sejarah Universal
            Fukuyama mendasarkan uraiannya kepada Immanuel Kant (di samping pada tokoh ilmu alam semisal Galilio dan Bacon), yang mengatakan bahwa sejarah akan sampai pada titik akhir. Titik akhir itu adalah realisasi kebebasan manusia. Postulat ini juga ditegaskan Hegel yang mengatakan adanya titik akhir sejarah yang dituju, yaitu perkembangan kesadaran kemerdekaan. Bagi Hegel, wujud kebebasan manusia adalah Negara konstitusional modern yang disebut demokrasi liberal. Dan sejarah universal manusia adalah memuka perkembangan menuju rasionalitas yang penuh, dan untuk kesadaran diri terhadap rasionalitas yang mengeksposisikan diri dalam pemerintahan yang rasional .

            Hegel menampik bahwa sejarah bergerak tanpa batas, melainkan selalu akan menuju pada suatu akhir, yaitu suatu prestasi masyarakat yang bebas di dalam dunia yang nyata (h. 106). Adalah Karl Marx yang juga mengapresiasi model historisisme Hegel, dan dia bersepakat dengan teori dialektika Hegel mengenai kontradiksi-kontradiksi internal sistem politik yang kemudian dimenangkan oleh sistem yang lebih tinggi, yang dalam hal ini adalah demokrasi liberal. Marx percaya bahwa negara liberal telah berhasil memutuskan suatu kontradiksi yang fundamental yang merupakan konflik kelas, yaitu perjuagan kelas borjuis dan proletar. Namun bagi Marx, negara liberal itu tidak merepresentasikan universalisasi kebebasan, tetapi hanya kemenangan kebebasan suatu kelas tertentu, yaitu borjuis.

            Sebaliknya, kalangan Marxis berkeyakinan bahwa akhir sejarah akan datang hanya dengan kemenangan kelas universal yang benar, yaitu kaum proletar . Berbeda dengan Marx, Lenin berpendapat bahwa kontradiksi final yang akan menjatuhkan kapitalisme bukanlah perjuangan kelas dalam Negara yang berkembang, tetapi antara utara yang berkembang dan proletariat global di Negara-negara terbelakang. Di sini tampak bahwa Marx hendak membalik historisme Hegel, dari kemenangan borjuis menjadi kemenangan proletar. Sayangnya, kritik kalangan Marxis tidak lagi bergema saat ini, karena impian itu tidak pernah terbukti (h. 108). Karl Marx adalah salah satu penafsir Hegel yang tampaknya gagal membuktikan tafsirannya.
Selain itu, ada penafsir Hegel yang lain, yang tampaknya diikuti oleh Fukuyama. Ia adalah Alexander Kojeve, seorang filsuf Prancis-Rusia. Kalau Marx adalah penafsir Hegel pada abad ke-19, Kojeve adalah penafsir Hegel abad ke-20. Bagi Kojeve, prinsip-prinsip persamaan dan kebebasa yang muncul dari Revolusi Perancis terwujud dalam apa yang ia sebut sebagai Negara yang universal dan homogen yang merepresentasikan melebihi titik akhir dari evolusi ekologi manusia yang tidak mungkin untuk berkembang lebih lanjut. Ini artinya bahwa komunis tidak menghadapi kembali suatu tingkat yang lebih tinggi dari demokrasi liberal. Akhirnya Kojeve percaya bahwa akhir sejarah tidak hanya dalam arti akhir dari konflik-konflik dan perjuangan politik yang luas, tetapi juga akhir filsafat. Dan komunitas Eropa merupakan suatu perwujudan institusi yang tepat untuk akhir sejarah.

            Fukuyama juga menjelaskan mengapa sistem dunia kapitalis tidak begitu tumbuh di Amerika Latin (tidak seperti Asia) dan sejumlah dunia ketiga lainnya. Setidaknya ada dua alasan, pertama, alasan kultural bahwa kebiasan-kebiasaan, adat istiadat, agama-agama dan struktur masyarakat di wilayah seperti Amerika Latin sedikit banyak berperan dalam menghambat pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang berbeda dengan budaya yang dihadapi oleh masyarakat Asia dan Eropa. Kedua, kapitalisme tidak pernah dilakukan secara serius. Ini terlihat bahwa kebanyakan ekonomi-ekonomi kapitalis di Amerika Latin dilumpuhkan oleh tradisi-tradisi merkantilis mereka dan seluruh sektor negara yang bersifat all pervasive ditegakkkan atas dalih keadilan ekonomi.

            Secara umum, kemajuan industrial berbanding lurus dengan tingkat keberhasilan demokrasi. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, argument fungsional. Ini artinya fungsi industrialiasi hanya untuk mempengaruhi demokrasi yang mampu menengahi jaringan yang kompleks dari konflik kepentingan yang diciptakan oleh ekonomi modern. Kedua, pengaruh perkembangan ekonomi yang harus dilakukan untuk menghasilkan demokrasi untuk tujuan para diktator. Rezim diktator ini mungkin saja akan memerintah secara efektif di awal-awal pemerintahannya, namun begitu pendiri rezim ini tiada maka tidak ada jaminan bagi penggantinya untuk mencapai kekuasaan sepertin pendahalunya. Ketiga, keberhasilan industrialisasi akan melahirkan kelas menengah yang kuat. Kelas menengah ini muncul akibat pendidikan yang universal. Faktor pendidikan inilah yang jika tidak disebut sebagai prakondisi demokrasi, setidaknya ia menjadi nilai plus yang bernilai tinggi dari yang diinginkan untuk menuju demokrasi. Karena sangat sulit membayangkan kerja demokrasi dalam lingkungan masyarakat yang buta huruf.

3. Akhir Sejarah
            Sebagaimana dikatakan Hegel dan Kojeve, bahwa akhir sejarah terjadi jika telah tidak ada kontradiksi-kontradiksi. Jika pernyataan ini benar maka kita harus mengatakan bahwa sejarah akan berlanjut. Mungkin saja ini selaras dengan teori dialektika Hegel yang bermula dari kontradiksi tesis dan antitesis dan berakhir dengan sintesis. Dan begitu sintesis dihasilkan (atau dalam bahasa Kojeve, tidak ada ‘kontradiksi-kontradiksi’) maka ia akan menjadi tesis baru. Demikian seterusnya.

            Klaim akhir sejarah Kojeve ini didasarkan pada pandangannya bahwa hasrat untuk diakui adalah kerinduan manusia yang paling fundamental. Perjuangan untuk pengakuan ini mengarahkan sejarah dari pertempuran berdarah pertama, dan sejarah telah berakhir karena kondisi universal dan homogen telah membentuk pengakuan resiprokal yang sepenuhnya memuaskan kerinduan ini. Atas dasar ini, apakah demokrasi liberal telah benar-benar memenuhi hasrat untuk diakui?

                        Kojeve akhirnya percaya bahwa sejarah sendiri pada akhirnya akan membenarkan rasionalitasnya sendiri, yaitu gerbong-gerbong yang cukup akan menuju kota sehingga orang-orang rasional yang melihat situasi itu terpaksa menyetujui bahwa hanya ada sebuah perjalanan dan sebuah penentuan takdir. Takdir itu mungkin saja bernama demokrasi liberal, dan inilah yang dibayangkan Fukuyama sebagai akhir sejarah.    [9]

Tesis fukuyama tentang kemenangan kapitalisme dan kelanjutan nasibnya tanpa kompetitor, boleh saja dipahami sebagai mana untuk mengoreksi kegagalan dari pada otoritarianisme komunis yang diterapkan di Soviet dan kegagalan penerapanya. Tapi kita mesti ingat bahwa sejarah mungkin akan kembali berulang dengan kepastian-kepastian yang baru. Bukan kapitalisme yang akan abadi tanpa kompetitornya tetapi kapitalisme akan mendapatkan tantangan-tantangan baru pada zama post modernisme ini.

            Kemudian kita akan masuk dalam perspektif Antonio Gramsci sebagai tokoh komunis dari Italy, yang mengemukakan teori Hegemoni. Gramsci membuat analisa bahwa tidak mungkin memakai teori Marxisme-Leninisme dalam upaya untuk perebutan revolusioner kelas buruh, karena menurut kacamata teori Hegemoninya Gramsci mengatakan, para kelas borjuis di Eropa Barat telah menghegemoni kondisi sosial, ekonomi, budaya & religius masyarakatnya, dan telah mencengkramnya menjadi sebuah kondisi riil konsensus tawar menawar antara kelas buruh dan borjuis. Gramsci mengatakan bahwa masyarakat Eropa Barat sudah menikmati hidup enak, dengan standart gaji yang melebihi rekan-rekan buruhnya di belahan negara lain, dan bahwa ini adalah sebuah strategi dari kapitalisme sekaligus melesetnya ramalan teori Marx, yang mengatakan bahwa jika suatu  negara yang tahap kapitalisme nya sudah tinggi maka, efek dari pada hal tersebut yaitu semakin tertindasnya buruh, semakin tertindasnya buruh mengakibatkan sebuah penyadaran kelas dan menghantarkan pada proses revolusi.

            Namun kembali lagi pada strategi negara kapitalisme, apa yang dikatakan Marx tentang materialisme historis bahwa revolusi tak terelakan akan terjadi meleset. Basic struktur dan suprstruktur, yaitu basic adalah tentang ekonomi dan suprastruktur yaitu dalam tatanan ideologis, budaya, agama dan politik ini seperti di katakan Gramsci masyarakat borjuis menguasai itu sehingga ia dapat memainkan segi-segi itu pada arena konsensus agar tidak terjadinya pemberontakan dan revolusi. [10]

            Kemudian setelah kita menuliskan dari beberapa tokoh Marxis yang mengkaji gagalnya revolusi proletar berhembus ke Eropa Barat seperti Trorsky, Francis Fukuyama dan Antonio Gramsci. Kita akan melihat sejarah dari pada kapitalisme itu sendiri, apakah kapitalisme itu ? kenapa ia bisa mencengkram dalam masyarakat Eropa Barat dan tidak tertembus oleh revolusi bolsvisk seperti di rusia ? apa sebabnya ?
            Secara historis perkembangan kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme. Gerakan ini juga menimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang keagamaan gerakan ini menimbulkan reformasi. Dalam hal penalaran melahirkan ilmu pengetahuan alam. Dalam hubungan masyarakat memunculkan ilmu-ilmu sosial. Dalam bidang ekonomi melahirkan sistem kapitalisme. Oleh karena itu peradaban kapitalis sah (legitimate) adanya. Di dalamnya terkandung pengertian bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar tipe tertentu dalam perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada abad 18 masehi dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat Laut dan Amerika Utara. Perjalan sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa, tempat lahir dan berkembangnya kapitalisme. Tahun 1648 (tahun tercapainya perjanjianWestphalia) dipandang sebagai tahun lahirnya sistem negara modern.

Perjanjian itu mengakhiri Perang Tiga Puluh Tahun (antara Katholik dan Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma. Inilah awal munculnya, sekularisme. 

Sejak itu aturan main kehidupan dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan), dengan anggapan bahwa negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya, sementara Tuhan (agama) diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja (hubungan manusia dengan Tuhannya).
Prinsip dasar sekular tersebut adalah menempatkan manusia (negara/kerajaan) sebagai pembuat peraturan atau hukum.

 Permasalahan berikutnya adalah siapa atau apa yang berwenang membuat aturan yang menjamin terciptanya kehidupan yang damai, tentram dan stabil. Kenyataannya, Eropa sampai abad ke-19 merupakan kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh kaisar, raja dan para bangsawan (aristokrat). Sampai masa itu, peran politik rakyat sangatlah minim bahkan tidak ada. Rakyat secara pasif patuh pada raja dan undang-undang yang dibuat oleh raja, tanpa melibatkan diri dalam proses politik (pembuatan keputusan).

Revolusi industri telah memunculkan kelas menengah yang mempunyai kekuatan ekonomi, sehingga dengan kekuatannya tersebut mereka menuntut derajat kekuatan politik yang berimbang. Revolusi Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme (ide bahwa otoritas politik harus disahkan lebih dahulu secara konsensus dan  tidak secara turun temurun, serta dibatasi oleh hukum dan konstitusi) dan equalitas (ide bahwa partisipasi politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi terbuka untuk semua penduduk). Sedangkan meningkatnya derajat melek huruf di kalangan rakyat telah menyebabkan mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa dan sekaligus mempengaruhi mereka.

Kemajuan sosial (social progress), yang berupa sejumlah perbaikan kondisi ekonomi, intelektualitas, sosial budaya dan politik yang terjadi di Eropa Barat antara abad ke-18 sampai abad ke-19, dapat dilihat sebagai penyebab berkembangnya demokrasi, di mana demokrasi membatasi kesewenangan  dan mendorong manusia menjadi lebih sempurna dan adil dalam mengatur kehidupannya. Dari sini kita bisa menyebut bahwa pada abad ke-19 telah terjadi transisi politik di Eropa Barat dari bentuk otokrasi dinasti tradisional menjadi demokrasi liberal modern.
Meskipun demikian, ada kesamaan dalam dua kondisi tersebut, yaitu sekularime. Konsekuensi dari Tuhan (agama) tidak boleh campur tangan dalam pengaturan urusan kehidupan manusia adalah pembuatan aturan main (keputusan/hukum) oleh manusia. Ketika keputusan/hukum dibuat oleh seseorang secara otoriter, dan terbukti tidak mampu menangkap kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, maka dituntutlah keikutsertaan rakyat seluruh rakyat dalam membuat keputusan. Dengan demikian diharapkan mampu menciptakan aturan main yang lebih bisa memenuhi keinginan dan kepentingan rakyat banyak.Sedangkan mengenai penamaan ideologi ini dengan nama Kapitalisme, An-Nabhani dalam kitabnya Nidzom Al-Islam (1953) memberikan pendapat dan uraian sebagai berikut: bahwa munculnya kapitalisme berawal pada kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia yang menjadikan agama sebagai alat pemeras, penganiaya dan penghisap darah rakyat.

 Para pemuka agama pada waktu itu dijadikan sebagai perisai untuk memenuhi keinginan mereka. Dari kondisi seperti itu, maka berikutnya menimbulkan pergolakan yang sengit, yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendikiawan. Sebagian dari mereka mengingkari adanya agama secara mutlak, sedangkan sebagian yang lain mengakui adanya agama tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakuai atau ditolak, sebab yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan.

Ide pemisahan agama dari negara tersebut dianggap sebagi jalan kompromi antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka (yang mengatasnamakan agama) dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Dengan demikian ide sekularisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain adalah memisahkannya dari kehidupan.
Atas landasan pandangan hidup seperti di atas, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak untuk membuat peraturan hidupnya. Mereka juga mengharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beragama, kebebasan berpendapat (berbicara), kebebasan individu (pribadi) dan kebebasan kepemilikan (hak milik). Dari kebebasan hak kepemilikan itulah dihasilkan sistem ekonomi kapitalis, yang merupakan hal yang paling menonjol pada ideologi ini. Oleh karena itu ideologi ini dinamakan kapitalisme, sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi.
Demokrasi sebagaimana telah diuraikan di atas, sebenarnya juga berasal dari ideologi ini, akan tetapi masih dianggap kurang menonjol dibanding dengan sistem ekonominya. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis di Barat ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Bahkan hampir-hampir dapat dikatakan bahwa para Kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di negara-negara yang menganut ideologi ini. Di samping itu demokrasi bukanlah menjadi ciri khas dari ideologi ini, sebab sosialispun ternyata juga menyuarakan dan menyatakan bahwa kekuasan berada di tangan rakyat. Oleh karena itu lebih tepat jika ideologi ini dinamakan ideology kapitalisme.
Oleh karena itu kapitalisme saat ini sudah tidak bisa disebut  sebagai hanya  sebuah  “isme” biasa atau sebuah  pemikiran  filsafat belaka,  bahkan  tidak  bisa juga  hanya  dikatakan  sebagai sebuah  teori ekonomi . Akan tetapi kapitalisme  telah menjadi sebuah ideologi dunia yang mencengkeram dan mengatur semua  sendi-sendi kehidupan manusia secara  menyeluruh  dan sistemik.
Adapun mengenai kelahiran ekonomi  kapitalis itu sendiri, hal ini tidak bisa dipisahkan dengan Adam Smith, seorang pemikir terkemuka di abad 18 yang telah membidani kelahiran ilmu ekonomi lewat karyanya yang monumental. Smith, dengan sistem pasarnya memunculkan pengetahuan tingkah laku ekonomi yang belum pernah ditemui sebelumnya yang kemudian menjadi bahan analisa bagi terbentuknya sebuah tubuh ilmu yang makin utuh. Pandangan, pemikiran, analisa dan teori-teorinya yang tertuang secara detail dalam bukunya tersebut mendasari lahirnya sebuah sistem ekonomi yang sampai sekarang berlaku, yakni sistem ekonomi kapitalis. Buku  Smith sesungguhnya merupakan gambaran, kupasan dan sekaligus ramalan tentang kehidupan ekonomi pada zamannya. Dengan ketajaman dan kekuatan nalar, kekayaan gagasan serta keyakinan seorang filsuf pada jamannya, Smith melihat di balik gejala yang menjadi pusat perhatiannya, sesuatu yang kemudian disebutnya sebagai hukum-hukum sistem pasar. Dasar analisanya semata-mata obyektif yang mendasari tindakan ekonomi seseorang sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya.
Meskipun telah begitu banyak mengalami perubahan, ternyata teori Smith-lah yang sampai kini mendasari perkembangan ilmu ekonomi liberal yang melahirkansistem ekonomi kapitalisme. Kapitalisme yang telah mulai  berjangkit sejak revolusi industri dan makin berkembang dengan penemuan Smith, pada suatu masa dalam sejarahnya telah melahirkan “anak haram”nya yang kemudian memberontak. Meskipun benih nilai-nilai filsafatnya berasal dari masa pemunculan sejaman, “anak haram” yang memberontak dalam wujud komunisme itu baru muncul setelah kapitalisme merajalela di mana-mana menimbulkan penderitaan dan kesengsaraan masyarakat buruh yang diperas dan dihisap.
Karl Marx, bidan yang di”nabi”kan oleh pengikutnya pada masa selanjutnya, menulis tentang kapitalisme, mengupas kemudian meramalkan keruntuhan sistem tersebut dalam bukunya “Das Kapital”. Kapitalisme memang tidak segera mati seperti yang diramalkan oleh Marx, tetapi pemikiran Marx sendiri tentang komunisme memunculkan kekuatan baru yang tidak kalah besarnya. Dewasa ini pertarungan masih dengan sengit terjadi antara kedua paham tersebut dalam skala dan gelanggang yang tidak tanggung-tanggung luasnya: mondial .
Ajaran  Smith dan Marx, sesungguhnya tidak lagi diikuti secara murni. Tetapi dalam berbagai ranting dan cabang pemikiran yang diturunkan daripadanya masih dapat ditemui dasar-dasar ajaran kedua tokoh tersebut. Ekonomi yang kini berlaku dan terus mengalami perkembangan di sebagian besar negara di dunia bersumber dari kedua ajaran tersebut, yakni kapitalisme dan sosialisme. Rais, dalam bukunya “Cakrawala Islam” (1996), secara lebih spesifik menjelaskan hubungan  antara ekonomi kapitalis dengan kapitalisme sebagai sebuah ideologi yang juga biasa dikenal dengan nama libelarisme. Ekonomi kapitalisme pada hakekatnya hanyalah suatu “byproduct” dari filsafat politik libelarisme yang berkembang di zaman pencerahan (Enlightenment) pada abad 18. Semangat libelarisme itu mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia sama sekali tidak jahat dan sejarah ummat manusia dapat disimpulkan sebagai sejarah kemajuan (progress) yang menuju pada suatu tatanan rasional dalam kehidupan, sehingga tuntutan spiritual dari lembaga agamapun tidak diperlukan lagi .Ekses semangat liberalisme di Perancis pada zaman Pencerahan itu nampak pada semboyan ecrasez l ‘infame yang berarti “lenyapkan hal yang memalukan itu”. Dalam hal ini gereja katolik dan berbagai “supertisi yang diorganisasikan oleh gereja” dianggap sebagai hal yang memalukan. Filsafat politik liberalisme dengan didorong oleh rasionalisme, -yang mengatakan bahwa rasio manusia dapat menerangkan segala hal di dunia ini secara komprehensip-, kemudian melahirkan kapitalisme. Sesuai dengan prinsip “laissez faire, laissez passer”, mekanisme pasar yang terdiri dari “supply dan demand” akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat sebaik-baiknya.

 Tangan yang tidak kelihatan (the invisible hands) dalam mekanisme pasar itu akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat secara paling rasional sehingga dapa menciptakan sejatera. Akan tetapi, ternyata kapitalisme justru menimbulkan suatu masyarakat yang tidak egalitarian. Ia menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat banyak, di samping menyebabkan munculnya keserakahan kaum kapitalisme dan individualisme yang menyebabkan alienasi. Sebagai anti thesis terhadap kapitalisme, muncul marxisme pada abad 19 yang dipandang dapat melahirkan sosialisme ilmiah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi kapitalis sebenarnya merupakan bagian dari kerangka ideologi liberalis atau juga biasa disebut ideologi kapitalis. Sudah juga kita sebutkan diatas bahwa kita membahas kegagalan paham Marxisme yang tidak bisa mewujudkan revolusinya di Eropa Barat, akibat dari persainganya dengan sistem kapitalisme ini. [11]

Sebagai simpulan dari pada tema yang kita bahas, kami juga akan mengemukakan pendapat kami sebagai pengkaji sebab-sebab tidak menjalarnya revolusi proletar tidak berhembus dan berhasil di Eropa Barat. Walaupun ada itu hanya gerakan kecil, yang terisah-pisah dan tidak mempunyai efek yang besar bagi susunan masyarakat Eropa Barat. Pertama adalah bahwa, kami sepakat dengan apa yang dikatakan Trotsky bahwa, Uni Soviet sebagai tembok besar komunisme itu, seharusnya tidak menutup diri terhadap partai-partai komunis di Eropa Barat dalam memperjuangkan revolusi proletar seperti yang terjadi di Uni Soviet dengan Bolsevisk dan Marxisme-Leninisme sebagai lokomotif perjuanganya. Kedua Gramsci mengatakan bahwa sistem kapitalisme di Eropa Barat walaupun dikatakan Marx jika dalam tahapan tertinggi revolusi tidak terelakan lagi, ternyata gagal, dalam kacamata Hegemoni Gramsci melihat bahwa kapitalisme di Eropa barat justru karena telah berada dalam tahap tertinggi dan sudah maju, maka ia mengontrol semua kehidupan poitik, ekonomi, budaya, religious dan sosial, yang mengakibatkan ia mengontrol jalanya kehidupan, dan bahwa kapitalisme di Eropa barat tidak menginginkan adanya revolusi seperti di Soviet karena ketertindasan yang sudah diluar batas itu, maka ia kapitalisme membuat seebuah consensus bagi masyarakat Eropa Barat agar terjadinya keharmonisasian sosial dan tidak mengancam dominasinya. Dengan jaminan sosial, kebebasan berpendapat, gaji diatas standart para buruh di belahan dunia lainya membuat revolusi hanya utopis belaka di Eropa Barat.

Dan ketiga Francis Fukuyama yang meengatakan, bahwa pemerintahan yang otoritarianisme itu, mengakibatkan kemacetan dalam bidang kreativitas daya cipta, sehingga membuat masyarakat Soviet dan komunisme itu tidak produktiv menghasilkan suatu karya cipta (stagnan), dan berbeda dengan Negara-negara kapitalisme liberal yag menghendaki kebebasan bagi individu-individu untuk berusaha mendapatkan kekayaan seuai dengan keahlian dan kemampuanya sendiri, sehigga menimbulkan suatu daya kreativitas dan berlomba-lomba untuk sukses.

Adapun kami mengemukakan pendapat bahwa, kita tidak mungkin untuk memakai lagi lokomotif landasan hidup Marxisme-Leninisme yang usang atau segala bentuk tindakan revolusioner kekerasan dan anarkisme. Karena tidak relevan lagi dengan kehidupan sekarang ini karena kita telah belajar dari sejarah, walapun niatnya baik untuk menciptakan Negara kelas pekerja dan tanpa penghisapan, tetapi prosesnya itu yang salah. Dengan mengemukakan konsep ‘diktatur prolrtariat’ seorang pemimpin yang tidak dibatasi oleh lembaga-lembaga konstitusianal pasti akan bertindak sewenang-wenang seperti seorang raja obsolutisme. [12]

 Kami lebih setuju apabila yang di tawarkan dalam kehidupan bernegara dan berbangsa itu ialah sebuah Negara yang tanpa kekerasan yaitu dalam tatanan consensus proses tawar-menawar untuk kesejahteraan masyarakat umum. Seperti apa yang dikatakan oleh J. Habermas dalam ruang public, tidak relevan lagi untuk zaman post modernism ini menggunakan kekerasan. Habermas menawarkan resep’ komunikasi’ sebagai media tawar menawar antara kelas atas dan kelas bawah agar saling mengingatkan satu sama lainya apabila ada penyimpangan-penyimpangan yang merugikan. Kita tetap harus memakai perspektif kelas nya Marx dalam (materialism historis), tetapi kita tidak perlu mengambil arah perjuangan revolusioner kekerasanya (materialism dialektika). Karena pisau analisis kelas ini penting untuk melihat sebuah ketimpangan dalam suatu masyarakat dalam suatu kehidupan berbangsa dan bernegara untuk kita kritisi dan tawar menawar melalui perwakilan masyarakat dalam konstitusional agar terjadinya keseimbangan dan keharmonisan serta kesejahteraan masyarakat dalam bidang ekonomi, politik, sosial, religious, budaya dll. [13]


           
           




DAFTAR PUSTAKA
Patria Nezar & Arief Andi. 2009. Antonio Gramsci Negara & Hegemoni. Yogyakarata : Pustaka Pelajar
Trotsky, Leon. Revolusi Yang Dikhianati. Magelang : Resist Book
Suseno, Magnis. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Revisionis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Lenin, Vladimir. Negara dan Revolusi. Yogyakarta : Wacana Sosial
Fukuyama, Francis. The End of History And The Last Man. Yogykarta : Qalam
Habermas, Jurgen. Ruang Publik. Bantul : Kreasi Wacana

 Machiavelli, Nicollo. Sang Pangeran. Jakarta : PT Gramedia

Althusser, Louis. Filsafat Sebagai Senjata Revolusi. Yogyakarta : Resist Book











[1] Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA JAKTIM
[2] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Kar Marx Dari Sosialisme Utopis ke Revisionis ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm, 63-81
[3] Franz Magnis Suseno, Pemikiran Kar Marx Dari Sosialisme Utopis ke Revisionis ( Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm, 87-125
[4] Louis Althusser, Filsafat sebagai Senjata Revolusi ( Yogyakarta : Resist Book, 2007), hlm. 17
[5] V.I Lenin, Negara dan Revolusi ( Yogyakarta: Wacana Sosial)
[6] Leon Trotsky, Revolusi yang Dikhianati ( Magelang : Resist Book, 2010), hlm. 97
[7] Leon Trotsky, Revolusi yang Dikhianati ( Magelang : Resist Book, 2010), hlm. 211
[8] Francis Fukuyama, The End of History And The Last Man, (Terjemahan) Amrullah Yogykarta : Qalam
[9] Francis Fukuyama, The End of History And The Last Man, (Terjemahan) Amrullah Yogykarta : Qalam
[10] Nezar Patria & Andi Arief,  Antonio Gramsci Negara & Hegemoni ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 112-123
[12] Niccolo Machiavelli, Sang Pangeran ( Jakarta : PT Gramedia, 1987), hlm. 34
[13] Jurgen Habermas, Ruang Publik ( Bantul : Kreasi Wacana, 2010)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Bappenas Pernah Jadi Monumen Yahudi ?

sang revolusioner jalan pembebasan atau jalan munuju tangga kekuasaan ?