FILSAFAT PRAKSIS, REVOLUSI OKTOBER & KEGAGALANYA DI EROPA BARAT
Oleh
Ricki Maldini [1]
Kita
akan coba memencari sebab-sebab mengapa revolusi proletar yang di kumandangkan
oleh Karl Heinrich Marx dan sahabatnya Frederich Engles ini gagal diterapkan di
Eropa Barat yang notabenya adalah Negara-negara yang diramalkan keduanya itu
akan menjadi Negara komunis, karena di Negara-negara Eropa Barat lah
industrialisasi sudah sangat maju, yang dalam perkataan Marx yaitu ‘ High Capitalism’ kapitalisme tingkat
tertinggi.
Marx
membangun landasan teoritisnya atas dasar praktik, yaitu dengan menganalisis
kondisi sosial masyarakat (benua sejarah). Marx juga mengambil pola teoritis
befikirnya yaitu dari filsuf besar berkebangsaan jerman G.W.F Hegel yang
menjadi guru dalam referensi-referensi bacaan Marx. Dialektika idealism Hegel
yang kata marx yaitu tidak sesuai dengan realitas masyarakat, diubah menjadi
dialektika materialism, yang diambilnya melalui ‘tesis of Feurbach’ menjadikan
proses memikirkan suatu kondisi sosial tidak dalam ranah idealism, tetapi dalam
ranah materialism (kebendaan) objek yang sesuai dalam kondisi suatu masyarakat.
[2]
Berangkat
dari hal tersebut Marx dan Engles membuat suatu gagasan tentang suatu susunan
masyrakat yang adil dan sejahtera tanpa penghisapan. dari pisau analisis
materialism dialektika dan materialism historis inilah Marx dan Engles melihat
ketimpangan dalam suatu masyarakat dalam tingkat kapitalisme. Kapitalisme
menyebabkan suatu penghisapan atas para pekerjanya dan akhirnya menjadikan
kelas-kelas yang terpisah antara kelas borjuis (capital) dan kelas buruh
(proletar). Dari pristiwa tersebut mengakibatkan sang borjuis semakin kaya karena
mempunyai modal usaha dan memeras tenaga kaum buruh untuk kepentinganya
sendiri, dan kaum buruh semakin miskin karena semakin terikat oleh waktu (jam
kerja) dan mengakibatkan kaum buruh ini teralienasi dari dunia objektifnya.
Membuat kaum buruh semakin tercerabut dalam akar sosialnya dalam suatu
masyarakat dan mmbuat suatu kedigdayaan kaum borjuis untuk menegakan dan
mengatur dominasinya dalam suatu kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya. [3]
Kedua
bapak pendiri komunisme itu sebenarnya menganalisis dan meramalkan, suatu
masyarakat komunis akan bangkit dan mendirikan Negara kelas pekerja, Negara
tanpa penghisapan, Negara sama rata sama rasa. Yaitu di Negara yang tingkat
kapitalismenya sudah tingkat tinggi, contohnya seperti di Eropa Barat, karena
keduanya berpendapat dengan pisau analisis materialism dialektika dan historis
bahwa, ketika capital itu telah berada dalam tahapan tertinggi maka tidak bisa
disangkal lagi bahwa akan terjadi penyadaran-penyadaran bagi para kelas pekerja
karena mereka telah ditindas, dimiskinkan, di alienasikan dalam suatu
masyarakat. Dan Marx dalam das manifesto komunis juga mengatakan bahwa
organisasi revolusi harus dipimpin oleh diktatur proletariat untuk menciptakan
dan mewujudkan sebuah Negara dalam paham komunisme dan menghancurkan sisa-sisa
kelas pekerja.
Namun
meleset dari apa yang dipikirkan dan diramalkan Marx bahwa komunisme akan
muncul di Negara yang kapitalismenya telah memasuki tahap tertinggi yaitu di
wilayah Eropa Barat seperti Inggris, Jerman, Perancis dll. Justru Negara kelas
pekerja pertama yang muncul untuk pertama kalinya di dunia yakni di Uni Soviet,
yang justru masih dalam kategori yang industrialisasinya masih belum maju. Uni
Soviet masih berbasiskan pertanian. Yakni Vladimir Lenin, yang memimpin dan
mewujudkan keberhasilan revolusi oktober 1917, dengan menggulingkan kekuasaan
Tsar yang telah berkuasa sekian ratus tahun. Dengan direbutnya Rusia, maka
Lenin dan pemimpin Bolsevisk lainya mendirikan sebuah Negara kelas pekerja
pertama yang berdiri di muka bumu ini. yaitu USSR, dengan berlandaskan ajaran
Marxisme. Lenin mencampurkan ajaran Marx dengan apa yang ia tafsirkan dengan
kondisi di Uni Soviet.
Negara
dn Revolusi yang di tulis Lenin pada ttahun 1917, adalah sebuah landasan bagi
komunisme di Soviet dengan menjadikanya sebagi Marxisme-Leninisme, berisi
ajaran-ajaran tentang paham Marx dan Tafsir dan gagasan-gagasan Lenin untuk Uni
Soviet yang baru berdiri. [4]
Lenin
dalam Negara dan Revolusi, juga menafsirkan apa yang dibilang Marx tentang diktatur
proletariat. Lenin menjadikan dirinya sebagai pemimpin proletariat untuk
mewujudkan sebuah Negara yang berbasiskan Negara pekerja. Dalam usahanya itu,
Lenin harus memghapuskan sisa-sisa para kelas feodalisme dan juga borjuisme
yang masih berkeliaran di Uni Soviet. Dan menginsyafkan mereka agar tidak lagi
menjadi para penghisap. Karena mewujudkan Negara yang berbasiskan komunisme itu
butuh proses yang sangat lama. Maka dibutuhkan sang diktatur proletariat. [5]
Setelah
kematian Lenin pada tahun 1924, isu kepemimpinan tertinggi Soviet atau yang
biasa disebut diktatur proletariat ini menjadi perebutan sengit antara Trotsky
dan Stalin. Lenin yang tidak sempat menunjuk penggantinya sebelum kematianya
itu, meninggalkan sebuah kursi panas Soviet untuk diperebutkan. Sebenarnya
Lenin lebih suka Trotsky sebagai penggantinya, karena ia (Trotsky) adalah teman
seperjuangan Lenin dalam revolusi Bolsevisk merebut kekuasaan Tsar yang
feodalistik. Teetapi dengan kelicikan
dan lobi politiknya Stalin yang sebelumnya menjabat sebagai Sekertaris Jendral
partai Komunis ini lebih lihai, untuk mendapatkan dukungan sebagai pemimpin
tertinggi USSR.
Era
Stalin dalam memerintah Uni Soviet, terlihat banyak perbedaan dari pendahulunya
Lenin. Lenin berpendapat bahwa saja Soviet sudah mampu untuk berjalan sendiri
tanpa penghisapan dan tanpa kelas tidak dibutuhkan lagi sebuah Negara. Namun
dalam gagasan Stalin, ia berbeda dari apa yang disampaikan Lenin. Bahwa kata
Stalin, Negara masih dibutuhkan untuk mewujudkan tahap tertinggi dari Negara
kelas pekerja yaitu komunisme yang saat itu masih dianggap Stalin masih dalam
tahap sosialisme.
Dalam
kepemimpinnya Stalin terlihat banyak menyimpang dari pada cita-cita
Marxisme-Leninisme dengan memimpikan sebuah Negara tanpa penghisapan, tanpa
kelas. Stalin mengartika diktatur proletariat tidak seperti Lenin yang hanya
sebagai jembatan menuju ke masyarakat komunisme, masyarakat sosialisme tahap
tertinggi. Stalin mengartikan bahwa diktatur proletariat berarti, dirinya
berkuasa penuh atas keputusan-keputusan Uni Soviet. Inilah yang menjadikan
dirinya sebagai pemimpin yang sangat otoriter dan kejam. Dan ia juga banyak
meleset dari pada cita-cita pedoman Negara Marxime-Leninisme, seperti apa yang
di kritik Trotsky atas dirinya.
Kritik
Trotsky atas dirinya termuat dalam buku
revolusi yang dikhianati, yakni memuat point-point yang disalah arahkan oleh
Stalin dalam memerintah Uni Soviet. Seperti kritik Trotsky dalam Thermidor
Soviet. Thermidor adalah istilah yang digunakan Trotsky untuk merujuk pada kaum
birokrasi Soviet yang telah mengkhianati revolusi oktober. Secara lebih umum,
Thermidor menandai epos dimana rakyat mulai letih dengan elemen-elemen yang
lebih konservativ dan birokratis mengambil alih dan menyimpang dari cita-cita
revolusi. [6]
Dari
apa yang disampaikan oleh Leon Trotsky terlihat bahwa, dalam kepemimpinanya ini
ia (Stalin) menyimpang dari cita-cita revolusi 1917 yang mendasarkan
bahwasanya, Uni Soviet ini harus menjadi pelopornya Negara kelas pekerja dan
diharapkan dengan dukunganya sebagai markas besar komunisme ini revolusi
proletar akan menjalar ke seluruh dunia. Namun apa yang dilakukan Stalin dalam
kepemimpinanya ini tak lebih dari pada kepemimpinan Negara kapitalistik dalam
topeng komunisme. Adalah juga paham yang betentangan dengan Trotsky dalam
kebijakan Negara Soviet terhadap parta-partai komunis di luar Uni Soviet. Yaitu
kea rah mana Soviet harus menanamkan sebuah revolusi komunis di dunia, apakah
memperkokoh Uni Soviet sebagi roll model komunisme dunia dan menutup diri
terhadap para peminta bantuan dari partai-partai komunis di Eropa. Dengan
mendasarkan kebijakan Stalin kepada penguatan komunisme dalam negeri Uni Soviet
inilah, yang membuat revolusi proletar di Eropa Barat terhambat karena minimnya
bantuan dari Uni Soviet, karena juga Soviet sibuk berlomba-lomba dengan
Negara-negara kapitalis barat dalam hal teknologi, yang ini artinya adalah
menyimpang dari pada cita-cita Mrxisme-Leninisme, Negara tanpa kelas dan tanpa
penghisapan. Dengan bertindak seperti itu, Stalin telah mengesampingkan hak-hak
yang harusnya di dapat para buruh, petani dan masyarakat-masyarakat kecil.
Bahkan rezim totaliter ini menghisap rakyatnya sendiri, menjual hasil jerih
payah mereka dan dijual kepada pemerintah dengan harga yang murah. Hanya untuk
bersaing dari segi teknologi dan militer kepada Negara-negara kapitalistik
barat. [7]
Apa
yang dibilang Trotsky bahwa, Uni Soviet harus lebih terbuka dan membantu juga
partai-partai komunis diluar Soviet itu, saya sepakat denganya, bahwa apa yang
dilakukan Stalin dengan egoism kepemimpinanya membuat revolusi di belahan dunia
lain khususnya di Eropa tidak berhasil karena Soviet egoism dan tidak mau
membantu partai-partai diluar Soviet. Hal tersebut karena para partai-partai
komunis di Jerman, Italia, Inggris dan lain-lain. Tidak didukung dengan Soviet
dan saling bersinergi antara partai komunis di dunia lainya, mungkin juga
karena kegagalan comintern III.
Mengakibatkan munculnya Fasisme di Italia dan Jerman dan semakin
berkuasanya borjuasi Inggris melanggengkan kekuasaanya.
Kemudian kita juga bisa melihat apa
yang ditulis francis fukuyama dalam ‘the
end of history’ yang meramalkan bahwa komunisme kiri telah hancur lebur
ditandai dengan dihancurkanya tembok berlin dan terpecahnya Soviet menjadi
beberapa Negara merdeka. Kita bisa ambil kajian dari Francis Fukuyama ini untuk
menganalisis juga sebab-sebab tidak menjalarnya revolusi proletar ke Eropa
Barat, yaitu Pesimisme dan Reaksinya.
Fukuyama mengawali penjabaran
panjangnya mengenai tesis akhir sejarah ini dengan kegelisahan dan pesimisme
yang terjadi di kalangan masyarakat dunia mengenai kepastian tesisnya tentang
kemajuan sejarah yang berujung pada kejayaan demokrasi liberal. Pesimisme ini
terjadi karena dua faktor yang saling berkaitan: krisis politik pada abad ke-20
dan krisis intelektual dari rasionalisme Barat.
Krisis politik yang terjadi akibat
dua perang dunia itu telah menelan korban puluhan juta orang dan memaksa
ratusan juta lainnya hidup di bawah bentuk-bentuk perbudakan baru yang lebih
brutal. Pada saat yang sama, demokrasi liberal dibiarkan tanpa sumberdaya
intelektual yang sejatinya digunakan sebagai alat untuk mempertahankan dirinya.
Padahal, pada abad sebelumnya, abad ke-19, mayoritas Negara Eropa berpikir
bahwa kemajuan yang dimaksud adalah kemajuan menuju demokrasi (liberal). Tapi
tidak kenyataannya pada abad ke-20. Pada abad itu, beragam peristiwa traumatik
akibat tragedi dua perang dunia menjadi krisis kepercayaan bagi mayoritas orang
Eropa saat itu. Pada abad ini, demokrasi (liberal) telah ditantang oleh dua
kompetitornya, fasisme dan komunisme, yang mengusulkan visi yang sangat berbeda
mengenai masyakarat yang baik.
Pada abad ini, bayangan manis
tentang demokrasi itu sirna. Pesimisme akibat faktor di atas itu akhirnya
memicu keyakinan baru di kalangan masyarakat dunia akan hadirnya alternatif
baru, yaitu alternatif komunis-totalitarian sebagai ganti dari demokrasi
liberal. Namun sayangnya, lagi-lagi alternatif ini tidak melahirkan apa yang
diimpikan, alih-alih melahirkan krisis baru.
Di satu sisi, pemerintahan
otoritarian sayap kanan di Eropa Selatan satu-persatu runtuh menjadi bukti
rapuhnya legitimasi ideologi yang dianutnya. Jatuhnya serangkaian pemerintahan
otoritarian sayap Kanan di Eropa Selatan inilah yang oleh Fukuyama dianggap
sebagai krisis otoritarianisme .
Krisis itulah yang mendesakkan
serangkaian upaya transisi menuju demokrasi di berbagai belahan dunia.
Negara-negara di Eropa Selatan, misalnya, terjadi proses transisi menuju
demokrasi dan berhasil cukup stabil. Begitu juga di Amerika Latin pada tahun
1980-an. Di Peru misalnya berhasil melakukan restorasi pemerintahan yang
terpilih secara demokratis setelah 12 tahun di bawah cengkraman kekuasaan
militer. Di Argentina, perang Falkland/Malvinas pada tahun 1982 memuluskan
runtuhnya junta militer dengan terbentuknya pemerintahan Alfosin yang terpilih
secara demokratis. Proses transisi di Argentina ini pun diikuti beberapa negara
lain di Amerika Latin semisal Uruguai pada tahun 1983 dan Brazil pada tahun
1984 yang berhasil meruntuhkan rezim militer. Begitu juga rezim Stroessner di
Paraguai dan Pinochet di Chile pun memberi jalan bagi pemerintahan yang
terpilih secara popular dan demokratis.
Fenomena serupa juga terjadi di
wilayah Asia Timur. Pada tahun 1986, pemerintahan diktator Marcos berhasil
digulingkan di Filipina dan digantikan oleh Corazon Aquino; Jenderal Chun, pada
tahun berikutnya, menyerahkan jabatan di Korea Selatan dan memberikan peluang
bagi terpilihnya Roh Tae Woo. Dan banyak kasus lagi yang menjadi fenomena
runtuhnya negara-negara kuat di berbagai belahan dunia akibat krisis
otoritarianisme. Dan sebagai gantinya adalah apa yang disebut pemerintahan
demokratis.
Di pihak yang lain, totalitarianisme
yang berkembang paska PD II di Soviet dengan komunismenya dan Jerman dengan
Nazinya pun tidak kuasa bertahan. Tantangan-tangan eksternal dan kerapuhan
internal menjadi faktor pemicunya. Seiring dengan berakhirnya Perang Dingin dan
runtuhnya tembok Berlin, pertarungan ideologi besar tidak lagi terjadi. Adalah
Soviet (Komunis) yang menjadi kompetitor Amerika (Kapitalis) telah ambruk. Ini
terjadi karena krisis legitimasi totalitarianisme sebagai sebuah sistem secara
keseluruhan. Tidak saja karena faktor ekonomi, tetapi lebih dari itu adalah
faktor supervisi pikiran. Inilah fenomena yang menonjol dalam paham
totalitarianisme.
Oleh karena itu, baik komunisme kiri
maupun otoritarianisme kanan sama-sama gagal mempertahankan ideologinya.
Kelemahan Negara-negara otoritarian kanan terletak pada kegagalan mereka untuk
mengontrol masyarakat sipil. Sementara totalitarianisme kiri menghindari
persoalan tersebut dengan mensubordinasikan seluruh elemen masyarakat sipil di
bawah control mereka, termasuk apakah para wartawan Negara itu boleh berpikir.
Karena kelemahan-kelemahan ‘negara
kuat’ (kominisme kiri dan otoritarianisme kanan) itulah, maka banyak
negara-negara yang menerapkan sistem itu mulai membuka jalan untuk demokrasi.
Ini secara politis. Selain itu, sebagai respons ketidakpuasan pada sistem itu,
Negara-negara tersebut mulai melakukan revolusi di bidang ekonomi. Ini misalnya
terlihat dari perkembangan ekonomi yang fenomenal di Asia Timur sejak PD II.
Kisah sukses ini tidak saja terjadi pada Negara-negara modern awal semisal
Jepang, tetapi juga semua Negara Asia yang bersedia mengadopsi prinsi-prinsip
pasar dan mereka sepenuhnya mengintegrasikan dengan sistem ekonomi
global-kapitalis. Sejak itu, slogan
privatisasi dan perdagangan bebas menggantikan slogan nasionalisasi dan
substitusi impor. Di sinilah tampak bahwa krisis yang terjadi pada
otoritarianisme
dan sosialisme hanya menyisakan satu pesaing tangguhnya, yaitu
demokrasi liberal.
Liberalisme
dan demokrasi sebenarnya merupakan konsep-konsep yang berbeda meskipun antara
keduanya ada keterkaitan yang erat. Liberalisme politik secara sederhana dapat
didefinisikan sebagai suatu aturan hukum yang mengakui hak-hak tertentu
individu atau kebebasan dari kontrol pemerintah.Sedangkan demokrasi, sebagai
mana dalam definisi Lord Bryce menyebutkan setidaknya tiga elemen mendasar
dalam demokrasi, yaitu: hak-hak sipil hak-hak beragam, dan hak-hak politik.
Dengan demikian, untuk menilai Negara manakah yang layak disebut demokratis,
yaitu ketika Negara memberikan kepada rakyatnya hak untuk memilih pemerintah sendiri
melalui pemelihan secara periodic, bebas, dan rahasia, menggunakan system multi
partai, atas dasar hak pilih orang dewasa yang sederajat.
Dalam
manifestasi ekonominya, liberalisme adalah pengakuan terhadap hak-hak untuk
melakukan aktivitas ekonomi bebas dan pertukaran ekonomi berdasarkan
kepemilikan pribadi dan pasar. Singkatnya adalah ekonomi pasar bebas, sebagai
istilah lain dari kapitalisme yang belakangan istilah ini dikonotasikan secara
pejorative.[8]
Dari pengalaman rezim-rezim pemerintahan dalam perjalanan
sejarah manusia, dari pemerintahan monarki dan aristokrasi, teokrasi religius,
hingga pemerintahan diktator fasis dan komunis abad ini, tampaknya demokrasi
liberal merupakan satu-satunya rezim pemerintahan yang paling bertahan hingga
akhir abad ke-20. Kenyataan inilah yang mengukuhkan tesis Fukuyama mengenai apa
yang ia sebut sebagai ‘akhir sejarah’. Dan sejarah dalam perjalanannya
benar-benar tunggal, tanpa kompetitor dengan kemenangan demokrasi liberal.
Keyakinan inilah yang mengantarkan Fukuyama untuk mengurai apa yang ia sebut
sebagai sejarah universal.
2. Kemungkinan Sejarah Universal
Fukuyama
mendasarkan uraiannya kepada Immanuel Kant (di samping pada tokoh ilmu alam
semisal Galilio dan Bacon), yang mengatakan bahwa sejarah akan sampai pada
titik akhir. Titik akhir itu adalah realisasi kebebasan manusia. Postulat ini
juga ditegaskan Hegel yang mengatakan adanya titik akhir sejarah yang dituju,
yaitu perkembangan kesadaran kemerdekaan. Bagi Hegel, wujud kebebasan manusia
adalah Negara konstitusional modern yang disebut demokrasi liberal. Dan sejarah
universal manusia adalah memuka perkembangan menuju rasionalitas yang penuh,
dan untuk kesadaran diri terhadap rasionalitas yang mengeksposisikan diri dalam
pemerintahan yang rasional .
Hegel
menampik bahwa sejarah bergerak tanpa batas, melainkan selalu akan menuju pada
suatu akhir, yaitu suatu prestasi masyarakat yang bebas di dalam dunia yang
nyata (h. 106). Adalah Karl Marx yang juga mengapresiasi model historisisme
Hegel, dan dia bersepakat dengan teori dialektika Hegel mengenai
kontradiksi-kontradiksi internal sistem politik yang kemudian dimenangkan oleh
sistem yang lebih tinggi, yang dalam hal ini adalah demokrasi liberal. Marx
percaya bahwa negara liberal telah berhasil memutuskan suatu kontradiksi yang
fundamental yang merupakan konflik kelas, yaitu perjuagan kelas borjuis dan
proletar. Namun bagi Marx, negara liberal itu tidak merepresentasikan
universalisasi kebebasan, tetapi hanya kemenangan kebebasan suatu kelas
tertentu, yaitu borjuis.
Sebaliknya,
kalangan Marxis berkeyakinan bahwa akhir sejarah akan datang hanya dengan
kemenangan kelas universal yang benar, yaitu kaum proletar . Berbeda dengan
Marx, Lenin berpendapat bahwa kontradiksi final yang akan menjatuhkan
kapitalisme bukanlah perjuangan kelas dalam Negara yang berkembang, tetapi
antara utara yang berkembang dan proletariat global di Negara-negara
terbelakang. Di sini tampak bahwa Marx hendak membalik historisme Hegel, dari
kemenangan borjuis menjadi kemenangan proletar. Sayangnya, kritik kalangan
Marxis tidak lagi bergema saat ini, karena impian itu tidak pernah terbukti (h.
108). Karl Marx adalah salah satu penafsir Hegel yang tampaknya gagal
membuktikan tafsirannya.
Selain itu, ada penafsir Hegel yang lain, yang tampaknya diikuti oleh Fukuyama.
Ia adalah Alexander Kojeve, seorang filsuf Prancis-Rusia. Kalau Marx adalah penafsir
Hegel pada abad ke-19, Kojeve adalah penafsir Hegel abad ke-20. Bagi Kojeve,
prinsip-prinsip persamaan dan kebebasa yang muncul dari Revolusi Perancis
terwujud dalam apa yang ia sebut sebagai Negara yang universal dan homogen yang
merepresentasikan melebihi titik akhir dari evolusi ekologi manusia yang tidak
mungkin untuk berkembang lebih lanjut. Ini artinya bahwa komunis tidak
menghadapi kembali suatu tingkat yang lebih tinggi dari demokrasi liberal.
Akhirnya Kojeve percaya bahwa akhir sejarah tidak hanya dalam arti akhir dari
konflik-konflik dan perjuangan politik yang luas, tetapi juga akhir filsafat.
Dan komunitas Eropa merupakan suatu perwujudan institusi yang tepat untuk akhir
sejarah.
Fukuyama
juga menjelaskan mengapa sistem dunia kapitalis tidak begitu tumbuh di Amerika
Latin (tidak seperti Asia) dan sejumlah dunia ketiga lainnya. Setidaknya ada
dua alasan, pertama, alasan kultural bahwa
kebiasan-kebiasaan, adat istiadat, agama-agama dan struktur masyarakat di
wilayah seperti Amerika Latin sedikit banyak berperan dalam menghambat
pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang berbeda dengan budaya
yang dihadapi oleh masyarakat Asia dan Eropa. Kedua, kapitalisme tidak pernah dilakukan secara serius. Ini
terlihat bahwa kebanyakan ekonomi-ekonomi kapitalis di Amerika Latin
dilumpuhkan oleh tradisi-tradisi merkantilis mereka dan seluruh sektor negara
yang bersifat all pervasive ditegakkkan atas dalih keadilan ekonomi.
Secara
umum, kemajuan industrial berbanding lurus dengan tingkat keberhasilan
demokrasi. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan hal ini. Pertama, argument fungsional. Ini
artinya fungsi industrialiasi hanya untuk mempengaruhi demokrasi yang mampu
menengahi jaringan yang kompleks dari konflik kepentingan yang diciptakan oleh
ekonomi modern. Kedua, pengaruh
perkembangan ekonomi yang harus dilakukan untuk menghasilkan demokrasi untuk
tujuan para diktator. Rezim diktator ini mungkin saja akan memerintah secara
efektif di awal-awal pemerintahannya, namun begitu pendiri rezim ini tiada maka
tidak ada jaminan bagi penggantinya untuk mencapai kekuasaan sepertin
pendahalunya. Ketiga, keberhasilan
industrialisasi akan melahirkan kelas menengah yang kuat. Kelas menengah ini
muncul akibat pendidikan yang universal. Faktor pendidikan inilah yang jika
tidak disebut sebagai prakondisi demokrasi, setidaknya ia menjadi nilai plus
yang bernilai tinggi dari yang diinginkan untuk menuju demokrasi. Karena sangat
sulit membayangkan kerja demokrasi dalam lingkungan masyarakat yang buta huruf.
3. Akhir Sejarah
Sebagaimana
dikatakan Hegel dan Kojeve, bahwa akhir sejarah terjadi jika telah tidak ada
kontradiksi-kontradiksi. Jika pernyataan ini benar maka kita harus mengatakan
bahwa sejarah akan berlanjut. Mungkin saja ini selaras dengan teori dialektika
Hegel yang bermula dari kontradiksi tesis dan antitesis dan berakhir dengan
sintesis. Dan begitu sintesis dihasilkan (atau dalam bahasa Kojeve, tidak ada
‘kontradiksi-kontradiksi’) maka ia akan menjadi tesis baru. Demikian
seterusnya.
Klaim
akhir sejarah Kojeve ini didasarkan pada pandangannya bahwa hasrat untuk diakui
adalah kerinduan manusia yang paling fundamental. Perjuangan untuk pengakuan
ini mengarahkan sejarah dari pertempuran berdarah pertama, dan sejarah telah
berakhir karena kondisi universal dan homogen telah membentuk pengakuan
resiprokal yang sepenuhnya memuaskan kerinduan ini. Atas dasar ini, apakah
demokrasi liberal telah benar-benar memenuhi hasrat untuk diakui?
Kojeve akhirnya percaya bahwa sejarah sendiri pada
akhirnya akan membenarkan rasionalitasnya sendiri, yaitu gerbong-gerbong yang
cukup akan menuju kota sehingga orang-orang rasional yang melihat situasi itu
terpaksa menyetujui bahwa hanya ada sebuah perjalanan dan sebuah penentuan
takdir. Takdir itu mungkin saja bernama demokrasi liberal, dan inilah yang
dibayangkan Fukuyama sebagai akhir sejarah. [9]
Tesis fukuyama tentang kemenangan kapitalisme dan
kelanjutan nasibnya tanpa kompetitor, boleh saja dipahami sebagai mana untuk
mengoreksi kegagalan dari pada otoritarianisme komunis yang diterapkan di
Soviet dan kegagalan penerapanya. Tapi kita mesti ingat bahwa sejarah mungkin
akan kembali berulang dengan kepastian-kepastian yang baru. Bukan kapitalisme
yang akan abadi tanpa kompetitornya tetapi kapitalisme akan mendapatkan tantangan-tantangan
baru pada zama post modernisme ini.
Kemudian
kita akan masuk dalam perspektif Antonio Gramsci sebagai tokoh komunis dari
Italy, yang mengemukakan teori Hegemoni. Gramsci membuat analisa bahwa tidak
mungkin memakai teori Marxisme-Leninisme dalam upaya untuk perebutan
revolusioner kelas buruh, karena menurut kacamata teori Hegemoninya Gramsci
mengatakan, para kelas borjuis di Eropa Barat telah menghegemoni kondisi
sosial, ekonomi, budaya & religius masyarakatnya, dan telah mencengkramnya
menjadi sebuah kondisi riil konsensus tawar menawar antara kelas buruh dan
borjuis. Gramsci mengatakan bahwa masyarakat Eropa Barat sudah menikmati hidup
enak, dengan standart gaji yang melebihi rekan-rekan buruhnya di belahan negara
lain, dan bahwa ini adalah sebuah strategi dari kapitalisme sekaligus
melesetnya ramalan teori Marx, yang mengatakan bahwa jika suatu negara yang tahap kapitalisme nya sudah
tinggi maka, efek dari pada hal tersebut yaitu semakin tertindasnya buruh,
semakin tertindasnya buruh mengakibatkan sebuah penyadaran kelas dan
menghantarkan pada proses revolusi.
Namun
kembali lagi pada strategi negara kapitalisme, apa yang dikatakan Marx tentang
materialisme historis bahwa revolusi tak terelakan akan terjadi meleset. Basic
struktur dan suprstruktur, yaitu basic adalah tentang ekonomi dan suprastruktur
yaitu dalam tatanan ideologis, budaya, agama dan politik ini seperti di katakan
Gramsci masyarakat borjuis menguasai itu sehingga ia dapat memainkan segi-segi
itu pada arena konsensus agar tidak terjadinya pemberontakan dan revolusi. [10]
Kemudian
setelah kita menuliskan dari beberapa tokoh Marxis yang mengkaji gagalnya
revolusi proletar berhembus ke Eropa Barat seperti Trorsky, Francis Fukuyama
dan Antonio Gramsci. Kita akan melihat sejarah dari pada kapitalisme itu
sendiri, apakah kapitalisme itu ? kenapa ia bisa mencengkram dalam masyarakat
Eropa Barat dan tidak tertembus oleh revolusi bolsvisk seperti di rusia ? apa
sebabnya ?
Secara historis perkembangan
kapitalisme merupakan bagian dari gerakan individualisme. Gerakan
ini juga menimbulkan dampak dalam bidang yang lain. Dalam bidang keagamaan
gerakan ini menimbulkan reformasi. Dalam hal penalaran melahirkan ilmu
pengetahuan alam. Dalam hubungan masyarakat memunculkan ilmu-ilmu sosial. Dalam
bidang ekonomi melahirkan sistem kapitalisme. Oleh karena itu peradaban
kapitalis sah (legitimate) adanya. Di dalamnya terkandung pengertian
bahwa kapitalisme adalah sebuah sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari
sekedar tipe tertentu dalam perekonomian. Sistem ini berkembang di Inggris pada
abad 18 masehi dan kemudian menyebar luas ke kawasan Eropa Barat Laut dan Amerika
Utara. Perjalan sejarah kapitalisme tidak dapat dilepaskan dari bumi Eropa,
tempat lahir dan berkembangnya kapitalisme. Tahun 1648 (tahun tercapainya
perjanjianWestphalia) dipandang sebagai tahun lahirnya sistem negara
modern.
Perjanjian itu mengakhiri Perang
Tiga Puluh Tahun (antara Katholik dan Protestan di Eropa) dan menetapkan sistem
negara merdeka yang didasarkan pada konsep kedaulatan dan menolak ketundukan
pada otoritas politik Paus dan Gereja Katholik Roma. Inilah awal munculnya, sekularisme.
Sejak itu aturan main kehidupan
dilepaskan dari gereja (yang merupakan wakil Tuhan), dengan anggapan bahwa
negara itu sendiri yang paling tahu kebutuhan dan kepentingan warganya sehingga
negaralah yang layak membuat aturan untuk kehidupannya, sementara Tuhan (agama)
diakui keberadaannya tetapi dibatasi hanya di gereja (hubungan manusia dengan Tuhannya).
Prinsip dasar sekular tersebut adalah menempatkan manusia (negara/kerajaan) sebagai pembuat peraturan atau hukum.
Prinsip dasar sekular tersebut adalah menempatkan manusia (negara/kerajaan) sebagai pembuat peraturan atau hukum.
Permasalahan berikutnya adalah siapa atau apa
yang berwenang membuat aturan yang menjamin terciptanya kehidupan yang damai,
tentram dan stabil. Kenyataannya, Eropa sampai abad ke-19 merupakan
kerajaan-kerajaan yang diperintah oleh kaisar, raja dan para bangsawan
(aristokrat). Sampai masa itu, peran politik rakyat sangatlah minim bahkan
tidak ada. Rakyat secara pasif patuh pada raja dan undang-undang yang dibuat
oleh raja, tanpa melibatkan diri dalam proses politik (pembuatan keputusan).
Revolusi industri telah memunculkan
kelas menengah yang mempunyai kekuatan ekonomi, sehingga dengan kekuatannya
tersebut mereka menuntut derajat kekuatan politik yang berimbang. Revolusi
Perancis telah mendorong tuntutan akan nasionalisme (ide bahwa
rakyat bisa memerintah dirinya sendiri, bukan diperintah oleh yang lain), libelarisme (ide
bahwa otoritas politik harus disahkan lebih dahulu secara konsensus dan
tidak secara turun temurun, serta dibatasi oleh hukum dan konstitusi) dan equalitas (ide
bahwa partisipasi politik tidak hanya di tingkat elit aristokrat saja, tetapi
terbuka untuk semua penduduk). Sedangkan meningkatnya derajat melek huruf di
kalangan rakyat telah menyebabkan mereka dapat membaca peristiwa-peristiwa dan
pemikiran-pemikiran yang berkembang di Eropa dan sekaligus mempengaruhi mereka.
Kemajuan sosial (social progress),
yang berupa sejumlah perbaikan kondisi ekonomi, intelektualitas, sosial budaya
dan politik yang terjadi di Eropa Barat antara abad ke-18 sampai abad ke-19,
dapat dilihat sebagai penyebab berkembangnya demokrasi, di mana demokrasi
membatasi kesewenangan dan mendorong manusia menjadi lebih sempurna dan
adil dalam mengatur kehidupannya. Dari sini kita bisa menyebut bahwa pada abad
ke-19 telah terjadi transisi politik di Eropa Barat dari bentuk otokrasi
dinasti tradisional menjadi demokrasi liberal modern.
Meskipun demikian, ada kesamaan dalam dua kondisi tersebut, yaitu sekularime. Konsekuensi dari Tuhan (agama) tidak boleh campur tangan dalam pengaturan urusan kehidupan manusia adalah pembuatan aturan main (keputusan/hukum) oleh manusia. Ketika keputusan/hukum dibuat oleh seseorang secara otoriter, dan terbukti tidak mampu menangkap kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, maka dituntutlah keikutsertaan rakyat seluruh rakyat dalam membuat keputusan. Dengan demikian diharapkan mampu menciptakan aturan main yang lebih bisa memenuhi keinginan dan kepentingan rakyat banyak.Sedangkan mengenai penamaan ideologi ini dengan nama Kapitalisme, An-Nabhani dalam kitabnya Nidzom Al-Islam (1953) memberikan pendapat dan uraian sebagai berikut: bahwa munculnya kapitalisme berawal pada kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia yang menjadikan agama sebagai alat pemeras, penganiaya dan penghisap darah rakyat.
Meskipun demikian, ada kesamaan dalam dua kondisi tersebut, yaitu sekularime. Konsekuensi dari Tuhan (agama) tidak boleh campur tangan dalam pengaturan urusan kehidupan manusia adalah pembuatan aturan main (keputusan/hukum) oleh manusia. Ketika keputusan/hukum dibuat oleh seseorang secara otoriter, dan terbukti tidak mampu menangkap kepentingan dan kebutuhan rakyatnya, maka dituntutlah keikutsertaan rakyat seluruh rakyat dalam membuat keputusan. Dengan demikian diharapkan mampu menciptakan aturan main yang lebih bisa memenuhi keinginan dan kepentingan rakyat banyak.Sedangkan mengenai penamaan ideologi ini dengan nama Kapitalisme, An-Nabhani dalam kitabnya Nidzom Al-Islam (1953) memberikan pendapat dan uraian sebagai berikut: bahwa munculnya kapitalisme berawal pada kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia yang menjadikan agama sebagai alat pemeras, penganiaya dan penghisap darah rakyat.
Para pemuka agama pada waktu itu dijadikan
sebagai perisai untuk memenuhi keinginan mereka. Dari kondisi seperti itu, maka
berikutnya menimbulkan pergolakan yang sengit, yang kemudian membawa
kebangkitan bagi para filosof dan cendikiawan. Sebagian dari mereka mengingkari
adanya agama secara mutlak, sedangkan sebagian yang lain mengakui adanya agama
tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai akhirnya
pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan itu lebih cenderung
memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan, yang kemudian menghasilkan
usaha pemisahan antara agama dengan negara. Disepakati pula pendapat untuk
tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi apakah diakuai atau ditolak,
sebab yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan.
Ide pemisahan agama dari negara tersebut dianggap sebagi jalan kompromi antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka (yang mengatasnamakan agama) dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Dengan demikian ide sekularisme ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain adalah memisahkannya dari kehidupan.
Atas landasan pandangan hidup seperti di atas, mereka berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berhak untuk membuat peraturan hidupnya. Mereka juga mengharuskan pula untuk mempertahankan kebebasan manusia yang terdiri dari kebebasan beragama, kebebasan berpendapat (berbicara), kebebasan individu (pribadi) dan kebebasan kepemilikan (hak milik). Dari kebebasan hak kepemilikan itulah dihasilkan sistem ekonomi kapitalis, yang merupakan hal yang paling menonjol pada ideologi ini. Oleh karena itu ideologi ini dinamakan kapitalisme, sebuah nama yang diambil dari aspek yang paling menonjol dalam ideologi.
Demokrasi sebagaimana telah diuraikan di atas, sebenarnya juga berasal dari ideologi ini, akan tetapi masih dianggap kurang menonjol dibanding dengan sistem ekonominya. Hal itu dapat dibuktikan bahwa sistem ekonomi kapitalis di Barat ternyata sangat mempengaruhi elite kekuasaan sehingga mereka tunduk kepada para kapitalis (pemilik modal, konglomerat). Bahkan hampir-hampir dapat dikatakan bahwa para Kapitalislah yang menjadi penguasa sebenarnya di negara-negara yang menganut ideologi ini. Di samping itu demokrasi bukanlah menjadi ciri khas dari ideologi ini, sebab sosialispun ternyata juga menyuarakan dan menyatakan bahwa kekuasan berada di tangan rakyat. Oleh karena itu lebih tepat jika ideologi ini dinamakan ideology kapitalisme.
Oleh karena itu kapitalisme saat ini sudah tidak bisa disebut sebagai hanya sebuah “isme” biasa atau sebuah pemikiran filsafat belaka, bahkan tidak bisa juga hanya dikatakan sebagai sebuah teori ekonomi . Akan tetapi kapitalisme telah menjadi sebuah ideologi dunia yang mencengkeram dan mengatur semua sendi-sendi kehidupan manusia secara menyeluruh dan sistemik.
Adapun mengenai kelahiran ekonomi kapitalis itu sendiri, hal ini tidak bisa dipisahkan dengan Adam Smith, seorang pemikir terkemuka di abad 18 yang telah membidani kelahiran ilmu ekonomi lewat karyanya yang monumental. Smith, dengan sistem pasarnya memunculkan pengetahuan tingkah laku ekonomi yang belum pernah ditemui sebelumnya yang kemudian menjadi bahan analisa bagi terbentuknya sebuah tubuh ilmu yang makin utuh. Pandangan, pemikiran, analisa dan teori-teorinya yang tertuang secara detail dalam bukunya tersebut mendasari lahirnya sebuah sistem ekonomi yang sampai sekarang berlaku, yakni sistem ekonomi kapitalis. Buku Smith sesungguhnya merupakan gambaran, kupasan dan sekaligus ramalan tentang kehidupan ekonomi pada zamannya. Dengan ketajaman dan kekuatan nalar, kekayaan gagasan serta keyakinan seorang filsuf pada jamannya, Smith melihat di balik gejala yang menjadi pusat perhatiannya, sesuatu yang kemudian disebutnya sebagai hukum-hukum sistem pasar. Dasar analisanya semata-mata obyektif yang mendasari tindakan ekonomi seseorang sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya.
Meskipun telah begitu banyak
mengalami perubahan, ternyata teori Smith-lah yang sampai kini mendasari
perkembangan ilmu ekonomi liberal yang melahirkansistem
ekonomi kapitalisme. Kapitalisme yang telah mulai berjangkit
sejak revolusi industri dan makin berkembang dengan penemuan Smith, pada suatu
masa dalam sejarahnya telah melahirkan “anak haram”nya yang kemudian
memberontak. Meskipun benih nilai-nilai filsafatnya berasal dari masa
pemunculan sejaman, “anak haram” yang memberontak dalam wujud komunisme itu
baru muncul setelah kapitalisme merajalela di mana-mana menimbulkan penderitaan
dan kesengsaraan masyarakat buruh yang diperas dan dihisap.
Karl Marx, bidan yang di”nabi”kan
oleh pengikutnya pada masa selanjutnya, menulis tentang kapitalisme, mengupas
kemudian meramalkan keruntuhan sistem tersebut dalam bukunya “Das
Kapital”. Kapitalisme memang tidak segera mati seperti yang diramalkan
oleh Marx, tetapi pemikiran Marx sendiri tentang komunisme memunculkan kekuatan
baru yang tidak kalah besarnya. Dewasa ini pertarungan masih dengan sengit
terjadi antara kedua paham tersebut dalam skala dan gelanggang yang tidak
tanggung-tanggung luasnya: mondial .
Ajaran Smith dan Marx,
sesungguhnya tidak lagi diikuti secara murni. Tetapi dalam berbagai ranting dan
cabang pemikiran yang diturunkan daripadanya masih dapat ditemui dasar-dasar
ajaran kedua tokoh tersebut. Ekonomi yang kini berlaku dan terus mengalami
perkembangan di sebagian besar negara di dunia bersumber dari kedua ajaran
tersebut, yakni kapitalisme dan sosialisme. Rais, dalam bukunya “Cakrawala
Islam” (1996), secara lebih spesifik menjelaskan hubungan antara ekonomi
kapitalis dengan kapitalisme sebagai sebuah ideologi yang juga biasa dikenal
dengan nama libelarisme. Ekonomi kapitalisme pada hakekatnya
hanyalah suatu “byproduct” dari filsafat politik libelarisme yang
berkembang di zaman pencerahan (Enlightenment) pada abad 18. Semangat
libelarisme itu mengajarkan bahwa pada dasarnya manusia sama sekali tidak jahat
dan sejarah ummat manusia dapat disimpulkan sebagai sejarah kemajuan (progress)
yang menuju pada suatu tatanan rasional dalam kehidupan, sehingga tuntutan
spiritual dari lembaga agamapun tidak diperlukan lagi .Ekses semangat
liberalisme di Perancis pada zaman Pencerahan itu nampak pada semboyan ecrasez
l ‘infame yang berarti “lenyapkan hal yang memalukan itu”. Dalam hal
ini gereja katolik dan berbagai “supertisi yang diorganisasikan oleh gereja”
dianggap sebagai hal yang memalukan. Filsafat politik liberalisme dengan
didorong oleh rasionalisme, -yang mengatakan bahwa rasio manusia dapat
menerangkan segala hal di dunia ini secara komprehensip-, kemudian melahirkan
kapitalisme. Sesuai dengan prinsip “laissez faire, laissez passer”,
mekanisme pasar yang terdiri dari “supply dan demand” akan mengatur
kegiatan ekonomi masyarakat sebaik-baiknya.
Tangan yang tidak kelihatan (the invisible
hands) dalam mekanisme pasar itu akan mengatur kegiatan ekonomi masyarakat
secara paling rasional sehingga dapa menciptakan sejatera. Akan tetapi,
ternyata kapitalisme justru menimbulkan suatu masyarakat yang tidak
egalitarian. Ia menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat banyak, di samping
menyebabkan munculnya keserakahan kaum kapitalisme dan individualisme yang
menyebabkan alienasi. Sebagai anti thesis terhadap kapitalisme, muncul marxisme
pada abad 19 yang dipandang dapat melahirkan sosialisme ilmiah. Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa sistem ekonomi kapitalis sebenarnya merupakan
bagian dari kerangka ideologi liberalis atau juga biasa disebut ideologi
kapitalis. Sudah juga kita sebutkan diatas bahwa kita membahas kegagalan paham
Marxisme yang tidak bisa mewujudkan revolusinya di Eropa Barat, akibat dari
persainganya dengan sistem kapitalisme ini. [11]
Sebagai simpulan dari pada tema yang
kita bahas, kami juga akan mengemukakan pendapat kami sebagai pengkaji
sebab-sebab tidak menjalarnya revolusi proletar tidak berhembus dan berhasil di
Eropa Barat. Walaupun ada itu hanya gerakan kecil, yang terisah-pisah dan tidak
mempunyai efek yang besar bagi susunan masyarakat Eropa Barat. Pertama adalah
bahwa, kami sepakat dengan apa yang dikatakan Trotsky bahwa, Uni Soviet sebagai
tembok besar komunisme itu, seharusnya tidak menutup diri terhadap
partai-partai komunis di Eropa Barat dalam memperjuangkan revolusi proletar
seperti yang terjadi di Uni Soviet dengan Bolsevisk dan Marxisme-Leninisme
sebagai lokomotif perjuanganya. Kedua Gramsci mengatakan bahwa sistem
kapitalisme di Eropa Barat walaupun dikatakan Marx jika dalam tahapan tertinggi
revolusi tidak terelakan lagi, ternyata gagal, dalam kacamata Hegemoni Gramsci
melihat bahwa kapitalisme di Eropa barat justru karena telah berada dalam tahap
tertinggi dan sudah maju, maka ia mengontrol semua kehidupan poitik, ekonomi,
budaya, religious dan sosial, yang mengakibatkan ia mengontrol jalanya
kehidupan, dan bahwa kapitalisme di Eropa barat tidak menginginkan adanya
revolusi seperti di Soviet karena ketertindasan yang sudah diluar batas itu,
maka ia kapitalisme membuat seebuah consensus bagi masyarakat Eropa Barat agar
terjadinya keharmonisasian sosial dan tidak mengancam dominasinya. Dengan
jaminan sosial, kebebasan berpendapat, gaji diatas standart para buruh di
belahan dunia lainya membuat revolusi hanya utopis belaka di Eropa Barat.
Dan ketiga Francis Fukuyama yang
meengatakan, bahwa pemerintahan yang otoritarianisme itu, mengakibatkan
kemacetan dalam bidang kreativitas daya cipta, sehingga membuat masyarakat
Soviet dan komunisme itu tidak produktiv menghasilkan suatu karya cipta (stagnan),
dan berbeda dengan Negara-negara kapitalisme liberal yag menghendaki kebebasan
bagi individu-individu untuk berusaha mendapatkan kekayaan seuai dengan
keahlian dan kemampuanya sendiri, sehigga menimbulkan suatu daya kreativitas
dan berlomba-lomba untuk sukses.
Adapun kami mengemukakan pendapat
bahwa, kita tidak mungkin untuk memakai lagi lokomotif landasan hidup
Marxisme-Leninisme yang usang atau segala bentuk tindakan revolusioner
kekerasan dan anarkisme. Karena tidak relevan lagi dengan kehidupan sekarang
ini karena kita telah belajar dari sejarah, walapun niatnya baik untuk
menciptakan Negara kelas pekerja dan tanpa penghisapan, tetapi prosesnya itu
yang salah. Dengan mengemukakan konsep ‘diktatur prolrtariat’ seorang pemimpin
yang tidak dibatasi oleh lembaga-lembaga konstitusianal pasti akan bertindak
sewenang-wenang seperti seorang raja obsolutisme. [12]
Kami lebih setuju apabila yang di tawarkan
dalam kehidupan bernegara dan berbangsa itu ialah sebuah Negara yang tanpa
kekerasan yaitu dalam tatanan consensus proses tawar-menawar untuk
kesejahteraan masyarakat umum. Seperti apa yang dikatakan oleh J. Habermas
dalam ruang public, tidak relevan lagi untuk zaman post modernism ini
menggunakan kekerasan. Habermas menawarkan resep’ komunikasi’ sebagai media
tawar menawar antara kelas atas dan kelas bawah agar saling mengingatkan satu
sama lainya apabila ada penyimpangan-penyimpangan yang merugikan. Kita tetap
harus memakai perspektif kelas nya Marx dalam (materialism historis), tetapi
kita tidak perlu mengambil arah perjuangan revolusioner kekerasanya
(materialism dialektika). Karena pisau analisis kelas ini penting untuk melihat
sebuah ketimpangan dalam suatu masyarakat dalam suatu kehidupan berbangsa dan
bernegara untuk kita kritisi dan tawar menawar melalui perwakilan masyarakat
dalam konstitusional agar terjadinya keseimbangan dan keharmonisan serta
kesejahteraan masyarakat dalam bidang ekonomi, politik, sosial, religious,
budaya dll. [13]
DAFTAR PUSTAKA
Patria
Nezar & Arief Andi. 2009. Antonio Gramsci Negara & Hegemoni.
Yogyakarata : Pustaka Pelajar
Trotsky,
Leon. Revolusi Yang Dikhianati. Magelang : Resist Book
Suseno,
Magnis. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis ke Revisionis. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama
Lenin,
Vladimir. Negara dan Revolusi. Yogyakarta : Wacana Sosial
Fukuyama,
Francis. The End of History And The Last Man. Yogykarta : Qalam
Habermas,
Jurgen. Ruang Publik. Bantul : Kreasi Wacana
Machiavelli,
Nicollo. Sang Pangeran. Jakarta : PT Gramedia
Althusser,
Louis. Filsafat Sebagai Senjata Revolusi. Yogyakarta : Resist Book
[1]
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA JAKTIM
[2]
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Kar Marx Dari Sosialisme Utopis ke Revisionis (
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm, 63-81
[3]
Franz Magnis Suseno, Pemikiran Kar Marx Dari Sosialisme Utopis ke Revisionis (
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm, 87-125
[4]
Louis Althusser, Filsafat sebagai Senjata Revolusi ( Yogyakarta : Resist Book,
2007), hlm. 17
[5]
V.I Lenin, Negara dan Revolusi ( Yogyakarta: Wacana Sosial)
[6]
Leon Trotsky, Revolusi yang Dikhianati ( Magelang : Resist Book, 2010), hlm. 97
[7]
Leon Trotsky, Revolusi yang Dikhianati ( Magelang : Resist Book, 2010), hlm.
211
[8]
Francis Fukuyama, The End of History And The Last Man, (Terjemahan) Amrullah
Yogykarta : Qalam
[9]
Francis Fukuyama, The End of History And The Last Man, (Terjemahan) Amrullah
Yogykarta : Qalam
[10]
Nezar Patria & Andi Arief, Antonio
Gramsci Negara & Hegemoni ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hlm.
112-123
[12]
Niccolo Machiavelli, Sang Pangeran ( Jakarta : PT Gramedia, 1987), hlm. 34
[13]
Jurgen Habermas, Ruang Publik ( Bantul : Kreasi Wacana, 2010)
Komentar
Posting Komentar
Bagaimana menurut anda ?