Eksistensi Tanpa Landasan

Terkadang aku membenci eksistensi, keramaian dan dikenal adalah sesuatu yang fana yang didalamnya penyakit-penyakit kedengkian-kedengkian, kemunafikan, kekosongan, dan kepalsuan terbalut menjadi suatu sistem kebobrokan, ia adalah suatu bangkai hidup.

Aku lebih suka apa adanya, adanya hidup dan bukan sebagaimana harus hidup. Sebagaimana itu menuntut, dan menuntut adalah sesuatu yang seringkali dipaksakan pemaksaan akan menjadi sebuah kepalsuan karena jalan untuk menempuhnya adalah jalan kegelapan, bagiku yang terang itu tidak menuntut melainkan sebuah kewajiban. Kewajiban bukan sesuatu pemaksaan ia merupakan suatu keyakinan dimana manusia melakukan dengan hati yang riang dan ikhlas.

Dunia hari ini adalah dunia yang sibuk tetapi kesibukan itu kosong tanpa makna, yang ada hanyalah manusia berlomba-lomba mempercantik eksistensi yang kokoh pada bagian luar tetapi didalamnya rapuh, serapuh kayu tua di gudang rumahku.

Eksistensi harusnya dilandasi oleh esensi agar ia tumbuh subur layaknya tetumbuhan dan hasilnya bisa dinikmati umat manusia, bukan eksistensi yang kosong yang dibangun diatas keegoan dan kepentingan diri, bagiku hidup adalah untuk sesama. Hari ini aku melihat sebua formalitas yang dipaksakan yakni eksistensi tanpa makna atau eksistensi tanpa esensi.

Aku lebih suka kesunyian dan haemonisasi , tapi kesunyian membawaku ke altar pojok kenyataan, aku tak tahan dengan pelbagai kepalsuan ini, tapi aku mempunyai kewajiban sebagak manusia. Jadi aku kembali berjalan menusuk ke jantung kenyataan.

Aku ingin merubah walaupun ta banyak berefek 'sakitnya' kehidupan dan kini aku berada dalam bayang-bayang kepalsuan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Bappenas Pernah Jadi Monumen Yahudi ?

sang revolusioner jalan pembebasan atau jalan munuju tangga kekuasaan ?