KEMENTERIAN SOSIAL DAN PENDIDIKAN BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA UHAMKA “Sebanyak Buah di Tanjung Harapan Kita"


Oleh : Ricki Maldini[1]

Aku coba mulai berbicara tentang si lemah dan si kuat, katanya aku anarkis …
Aku coba untuk pahami duniaku, namun pemahamanku dikikis perangai media massa
Mungkin pendidikan lebih baik…
ya.. jika tak baik apa bedanya dengan si ras kulit putih yang mencekik ?
Dan aku coba untuk berbicara tentang sebuah kebenaran, katamu itu salah…
Pendidikan macam apa ini ?
Untuk apa ada pendidikan jika pertanyaan ku terbentur meja kekuasaan ?
Untuk apa ada pendidikan jika peryantaan ku keluar dari relnya jalan kebenaran ?
Apakah hanya kau yang layak menafsirkan kebenaran ?
Akh..kau hanya manusia seperti layaknya diriku dan lagi-lagi kau ikuti pola si kulit putih untuk pertahankan tahta, harta, dan sebuah kejayaan..
Takutkah kau tersingkir ke pinggir persimpangan jalan ?
Kita ini adalah satu tujuan yang sama bung, lihat… kami rakyat dan kami mempunyai kedaulatan tertinggi dalam sistem demokrasi kita…
kau bukan seorang rajakah ? dengan bangsawan dan pemuka agama dilingkaranmu
Kau lihat kawan ? ini adalah kebudayaan kita yang sakit, sakit, bahkan akut …
yang menyakiti aku, kau, dan mereka …
apakah kita mau ikut sakit ?
 dan dimanakah kebenaran itu sekarang ?
ya kebenaran hanyalah sebuah nilai guna, dia bukanlah lagi yang diajarkan Muhammad, Isa, Siddharta, dan Gandhi
lalu … kita generasi penerus apakah akan menjadi angin, api, atau aliran air sungai ?

Suatu tindakan harus ada sebuah persiapan ini merupakan pondasi dasar yang diajarkan ilmu sejarah, bagaimana seorang manusia dalam menghadapi persoalan kehidupanya harus mampu melihat dimensi-dimensi historisitasnya, setidaknya hal ini berguna sebagai mata rantai konstruk bangunan peradaban dimana saat ini kita berpijak, tanpa hal tersebut aku seperti menyisir jalan kegelapan dengan jurang didepan ujung jalan.
Aku selalu teringan apa yang Gramschi katakakan, “semua orang adalah intelektual, namun tidak semua orang menjalankan fungsi intelektualnya dalam ranah sosial” [2] dalam pendapat Gramschi terdapat pemisahan secara jelas tentang konsep intelektual dalam fungsi sosialnya, yang pertama mereka-mereka yang terdidik melalui lembaga-lembaga pendidikan dan yang kedua mereka yang tidak bisa untuk melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi. Aku melihat ada perbedaan siraman intelektualitas ke dalam rasio dan jiwa orang-orang yang dapat mengenyam ke ranah pendidikan yang lebih tinggi, walaupun penglihatan ku ini tidak bisa dikatakan menyeluruh, tetap ada mereka yang tidak mengenyam pendidikan tinggi juga bisa berfungsi secara sosial namun yang kita garis bawahai disini adalah peran intelektual itu sendiri dalam merespons segala persoalan kehidupan.
Apalagi kita, kita ? ya siapah kah kita ? tentang pertanyaan itu kita bisa menjawabnya menurut keyakinan masing-masing. Namun keyakinan ku adalah soal bagaimana seharusnya kita bersikap di segala arus-srus masyarakat yang sakit, dan ketika idealism telah menjadi simbol-simbol yang sudah duduk di singggasana raja di raja, ya… kini ia merupakan barang mewah!
Tidak bisa dipungkiri…potret kemaharajaan kapitelisme modern telah merasuk di dalam dinding-dinding kepercayaan masyarakat modern Indonesia, tetapi kita bukanlah konseptor melainkan robot-robot yang digerakan, kehidupan modern tak ayal seperti kehidupan mesin di dalam pabrik-pabrik industri modern dan kita, kita hanyalah objek dari mereka. Dan mereka yang selalu bangga terhadap produk-produk berjenis asing ? Dan  kita yang tanpa sadar menindas sesama kita ? dan kita yang telah mengkhianati amanat revolusi 45 ?
Kita, adalah sebuah ungkapan-ungkapan yang sakit…apakah kita hidup di dalam kebudayaan yang sakit ? apakah kita tidak bisa sembuh dari sakit yang kita derita ? pertanyaan itu mungkin bisa dijawab dari teori-teori ilmiah namun secara manifestasi ini tidaklah beda dari kebijakan politik etis nya Belanda!
Kita tentu tak seperti Nietszhe yang mengkritik orang-orang yang mempunyai kehendak untuk percaya kepada apapun, apapun itu Agama, ilmu pengetahuan, seni, filsafat dan seterusnya. Nietszhe sampai kepada simpulan mereka yang percaya adalah mereka-mereka yang sakit! aku tak sependapat dengan Nietszhe, bagiku hidup mempunyai tujuan, mungkin juga bagi mereka kita masing-masing mempunyai sebuah apa yang dikatakan sebagai “orientasi” dia adalah ruh kehidupan, dialah yang menggerakan sejarah peradaban umat manusia terus hidup sampai saat ini. Mungkin apabila kita melihat lembar-lembar kuno sejarah Bangsa kita akan menemukan rumus bahwa Indonesia merdeka karena adanya sebuah “orientasi” “jiwa” “spirit” yakni sebuah kepercayaan terhadap perjuangan Agama, nasionalisme, patriotism,  sosialisme, komunism dan seterusnya, tujuan nya hanya satu yakni melepeskan kerangkeng penindasan, pembodohan.
Persoalan bahwa kita adalah generasi muda merupakan persoalan yang berat, dan anak muda yang sadar lah mereka-mereka yang menanggung beban berat ‘kesakitan’ peradaban bangsa. Namun layaknya sebuah sakit ‘dalam’ yang dibiarkan ia akan menggerogoti diri kita sampai menghilangnya dan kalahnya jasmani terhadap sakit. tidak ada kata diam kata Wijhi Tukul bangkit dan lawanlah! sekarang kita akan melawan ‘sakit’ kita.
Berbicara tentang perlawanan bagiku identik dengan sebuah perjuangan, dan perjuangan tergantung bagaimana orang tersebut memaknai dan memanifestasikanya dalam bentuk-bentuk yang kongkret. yang terpenting perlawanan terhadap sakit dalam bahasaku atau perjuangan harus bermuara kepada yang namanya sisi-sisi moralis dan kemanusiaan. Tujuan nya satu membuat kita dan mereka sama-sama berjuang untuk melihat sebuah masa depan yang cerah, sebuah masa depan yang sejahtera, dan sebuah masa depan yang termanifestasikan dalam bingkai hidup pancasila, bagaimanapun kita…generasi muda jangan sampai membuat dirinya usang kita harus begerak agar dia terus hidup dinamis.
Bagiku persoalan nya begitu kompleks dan rumit, kini apa yang kita katakan sebagai nation bukanlah satu tujuan namun terlihat pola-pola pragmatis opurtunistiknya atau dalam kata kita sehari-hari dimana ada keuntungan bagiku dan kelompoku disanalah kita harus berpijak. Dan ini merupakan sebuah sakit yang ‘akut’. Tugas kita pertama adalah menyadarkan diri kita sendiri sebagai mahasiswa  atau jika aku mengikuti Gramschi intelektual organik. Baru kemudian kita mencari alat untuk memanifestasikan kesadaran, kepekaan, empati kita dari segala arus persoalan, setidaknya ini merupakan pembelajaran sebelum memasuki ruang-ruang kehidupan yang riil dan kejam.
Sekarang aku seperti dalam langkah kedua, ya… menurut keyakinanku, alat ini apa yang dinamakan Badan Eksekutif Mahasiswa Uhamka menurutku ini adalah alat untuk menuangkan kreativitas dari keadaran fikiran dan jiwa kita. Ilmu yang telah kita rangkup dalam diri harus kita nyatakan, kongkretkan, agar ia tidak membayangi di setiap aktivitas layaknya burung didalam sangkar ‘ide’ itupun ruang geraknya terbatas, sekarang saatnya ia terbang bagai elang yang merajai langit yang menambah khazanah kindahan hidup bagi kita yang memandang. setidaknya kita bukanlah intelektual-inteluktual menara gading yang hanya berbicara tentang kecerdasan sebuah teori tetapi dibodohi oleh kenyataan!
Dan aku fikir ide ku ini akan aku tuangkan dalam secarik kertas yang awalnya putih kosong ini. dalam persoalanya aku kira mereka-mereka yang dulu menggunakan alat ini sudah berjuang bagi dirinya dan untuk orang lain. dan kini adalah kewajiban generasi penerus untuk menanggung beban berat ini.
KEMENSOSDIK atau kementrian sosial dan pendidikan merupakan kementrian yang meruangkan wadah-wadah interaksi sosial manusia secara hakikat itu terdapat dalam ilmu sosiologi sebenarnya… ya secara hakikat kita adalah makhluk sosial dan tidak akan pernah terlepas darinya. Bagaimana mungkin kita hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari kita ? dalam ilmu ekonomi bagaimana mungkin kita hidup sendiri dalam dalektikal keagamaan ? dalam Agama dan bagaimana mungkin kita berkembang biak dan membentuk peradaban jika kita hidup sendiri ? dalam ilmu biologi dan sejarah.
Kementrian ini awalnya terpisah sendiri-sendiri yakni gabungan antara kementrian sosial dan kementrian pedidikan dan kebudayaan, kawanku boy lah yang menggabungkan kedua kementrian tersebut dengan segala kematangan rasionya dan disetujui juga oleh Presiden Mahasiswa terpilih bung Riyadi, dan aku kira mereka telah membicarakanya matang-matang .
KEMENSOSDIK yang menggabungkan ranah sosial dan pendidikan jika di jabarkan dalam program kerjanya bisa dirumuskan :
1.      (UM) Uhamka Menyala
2.      SemSosDik  (seminar sosial dan pendidikan)
3.      Ruang Publik Diskusi Kajian Uhmaka (RUPA UHAMKA)
4.      (DesBin) Desa Binaan
5.      Amus (Amalan Musibah)

Kesemuanya terangkup dalam metaphor pemberdayaan masyarakat dan tentang sisi pembentukan kemanusiaan atau bisa dikatakan intelektual organic yakni intelektual yang berpijak pada fungsionalnya dalam relasi-relasi sosial. Tentu dalam menjalankan sebuah tujuan atau keyakinan kita akan di hadang oleh berbagai karang, tapi disitulah istimewanya persoalan membentuk diri agar semakin tangguh.
Kiranya aku akan sampai di diparagraf ini prolog yang aku lukiskan jika tidak tersampaikan, sebagai bahan refleksi jika memang terinfeksi, memang ini adalah bahasan yang membosankan  dan mejemukan. tetapi aku tahu kita sadar membaca tulisan ini namun kesuper ego-an kita lah yang mematikan kesadarn kita hingga buta tak mau tahu kalau meminjam bahasa Sigmund Freud.




[1] Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
[2] Antonio Gramschi. Prison Notebooks. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Halaman 3

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Bappenas Pernah Jadi Monumen Yahudi ?

sang revolusioner jalan pembebasan atau jalan munuju tangga kekuasaan ?