SISTEM PEMERINTAHAN BODY CHANIAGO DAN KAITANYA DENGAN DEMOKRASI INDONESIA


Oleh : Ricki Maldini[1]

            Berangkat dari suatu pengalaman mengikuti studi objek historis yang diadakan oleh program studi pendidikan sejarah dimana saya kuliah yakni universitas muhammadiyah prof. Dr. Hamka (UHAMKA) dimana program tersebut dilaksanakan pada masa perkuliahan di semester 7. Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 13-19 maret tersebut telah memberikan suatu pengalaman lapangan yang sangat berharga untuk masa depan dan juga untuk merubah cara berfikir serta bertindak. Namun dalam artikel kali ini saya akan membahas tentang bagaimana sistem pemerintahan yang terdapat di ranah Minang tersebut, keunikanya terletak pada bahwa banyak pendiri Bangsa Indonesia yang mengatakan bahwa sebenarnya sistem demokrasi di Indonesia tersebut adalah mengambil dari tradisi asli yang berlaku pada masyarakatnya terutama di ranah minangkabau jika yang saya ketahui, banyak contoh kutipan-kutipan dari para Founding Fathers kita seperti yang saya pernah membacanya Tan Malaka, Soekarno, dan Hatta dalam karanganya mengatakan demokrasi kita berasal dari pergaulan hidup masyarakat kita sendiri.
Tanah Minangkabau atau Sumatera Barat telah memberikan banyak pelajaran berharga, membuka kesempitan cakrawala pengetahuan ini. Sejarahnya adalah bagian dari pada gambaran kemerdekaan Bangsa Indonesia, bagaimana tidak banyak para tokoh perjuangan berasal dari tanah Minangkabau tersebut. Kehidupanya bukan untuk dirinya sendiri tetapi bagaimana semua, sesame dapat hidup dengan tenang dan tanpa eksploitasi. Barangkali hal tersebut yang melatarbelakangi bagaimana seorang individu Minang memandang cara hidup tersebut dan tentu tidak akan terlepas juga dari konsep pemerintahan Body Chaniago yang akan saya bahas di artikel ini.
            Aliran ini bersifat “ barajo ka mufakat “. Dalam sistem ini penghulu dengan rakyat tidak ada pembatas, artinya dalam kepemimpinanya penghulu langsung kepada rakyat. Sistem ini juga berdaulat kepada rakyat artinya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.[2] Segala kebijaksanaan yang berhubungan dengan politik, pemerintahan selalu melibatkan rakyat dalam pengambilan keputusan dan ketentuan musyawarah menjadi inti dalam mengambil kebijaksanaan. Dalam adat disebut “ barajo ka mufakat-tuah dek sakato “. Kekuasaan penghulu dan pemerintahan adat juga sama, biasanya dikenal dengan sebutan “ pucuak bulek, urek tunggang “, artinya kekuasaan peghulu sama dalam nagari.
Begitu juga halnya dalam permasalahan yang berhubungan dengan kaum penghulu dengan kemenakan saling melakukan musyawarah untuk mengambil keputusan. Sedangkan permasalahan dalam nagari, penghulu dengan sesama penghulu lainya juga melakukan musyawarah. Ada sebuah pepatah minangkabau dalam bidang politik yang kebetulan saya mendapatkan bukunya dari kawan saya yang ada di sumatera barat dan berkuliah di Universitas Andalas berikut pepatahnya yang yang tertuang didalam buku Tambo Minangkabau karangan Ir. Edison Ms., SH, M.Kn. dan Nasrun Dt. Marajo Sungut :
 Dalam bidang politik:
Tagak di kampuang mambela kampuang
Tagak di suku mambela suku
Tagak di nagari mambela nagari
Tagak
di bangso mambela bangso

(Berdiri di kampung membela kampung
Berdiri di suku membela suku
Berdiri di nagari membela nagari
Berdiri
di bangs a membela bangsa).[3]
Kemudian dalam catatan yang saya wawancarai dengan tour guide di museum PDIKM ( Pusat Data dan Informasi Kebudayaan Minangkabau ), ada juga pepatah yang mengatakan :
Dalam kato pusako (kata pustaka) di ungkapkan :
Putuih rundiang dek sakato
Rancak rundiang disapakati
Di lahia samo nyato
di batin samo di lihati

Talatak suatu di tampeknyo
Di dalam cupak jo gantang
Di lingkuang barih jo balabeh
Nan dimakan mungkin jo patuik
Dalam kanduang adat jo pusako. [4]

Inti dari petuah tersebut adalah segalah hal harus di musyawarah mufakatkan dahulu, sekarang dapat disimpulkan, sistem kelarasan body chaniago adalah kekuasaan yang berada di tangan rakyat dan mengutamakan musyawarah dan mufakat, intinya keputusan yang tertinggi adalah mufakat.
            Pengambilan keputusan dalam keselarasan body chaniago adalah melalui musyawarah dan mufakat. Artinya jika ada masalah-masalah dalam kaum maupun nagari, kesepakatan untuk mengatasi dan menangani masalah tersebut harus melalui musyawarah dahulu. Dalam musyawarah tersebut setiap anggotanya saling memberikan pendapat ide dan saling bertukar kata. Dalam istilah minangkabau dikenal dengan ungkapan “ basilang kayu dalam tungku, disinan api mangko iduik, disinan nasi mako masak “.
            Setiap keputusan yang diambil bukan didasarkan pada kehendak segelintir orang atau pihak tertentu, tetapi di ambil berdasarkan kadar atau ukuran tertentu, atau dalam minangkabau dikenal dengan ukuran menurut “ cupak dan gantang adalah, barih jo balabeh “, seperti yang diungkapkan pada kato pusako yang saya sebutkan diatas. Cupak dan gantang adalah alat untuk menentukan dan mengukur sesuatu. Ukuran tersebut juga yang dipakai untuk mengambil keputusan. Bari jo balabeh adalah rambu-rambu atau batasan yang telah disepakati semula berdasarkan itu jugalah keputusan diamabil.
            Setiap pendapat yang diberikan harus bermuara pada satu titik. Titik tersebut adalah “ Talatak sesuatu di tempeknyo” artinya kesesuaian keputusan dengan masalah yang dibicarakan.[5] Sesuatu dikatakan masalah jika belum terletak pada tempatnya, atau terjadi ketimpangan antara yang seharusnya dengan kenyataan yang dihadapi. Maka dari itu titik dalam pengambilan keputusan ialah terletak sesuatu pada tempatnya
            Berdasarkan penjelasan diatas teranglah bahwa sumater barat atau ranah minangkabau mempunyai sistem pemerintahan yang berdasarkan musyawarah mufakat, hal tersebut adalah suatu kebanggan untung kita khususnya yang mengaku sebagai Bangsa Indonesia bahwa demokrasi kita sebenarnya bukan lah demokrasi yang 100% menjplak dunia barat seperti yang dicetuskan dalam filsafat-filsafat yunani karya filosof macam Socrates, palto, dan aristoteles dan bukan juga jiplakan konsep demokrasi barat modern. Bahkan kita punya konsep demokrasi yang orisinil bentukan dinamika pergaulan masyarakat Indonesia khususnya suku bangsa minang tersebut. Pemahaman tentang demokrasi tercantum dalam sila keempat Pancasila yakni konstitusi tertinggi lembaga kenegaraan kita Indonesia, yang berbunyi “ Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan “ memiliki makna sebagai berikut :
·         Mengutamakan kepentingan Negara dan masyarakat
·         Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain
·         Mengutamakan budaya bermusyawarah dalam mengambil keputusan bersama
·         Bermusyawarah sampai mencapai kata mufakat diliputi dengan semangat kekeluargaan
Ditengah keadaan Bangsa dan Negara kita yang sedang terombang-ambing oleh konflik sara, dan ini akan berkonsekoensi pada integritas bangsa maka perlu diperhatikan bagi kita yang menyadarinya bahwa musyawarah dan mufakat yang berlandaskan pada nafas keimanan, persaudaraan, kekeluargaan itu penting agar tidak adanya konflik yang akan mengancam kehidupan kita sebagai Bangsa yang telah menyatakan hidup bersama demi cita-cita Pancasila konstitusi Negara kita, dalam melaksanakan amanat kemerdekaan 17 agustus 1945 terlepasnya kita dari pada penjajahan asing yang membelenggu, kini seperti yang dinyatakan oleh Soekarno musuh kita bukanlah penjajah tetapi sesame bangsa sendiri, seperti analogi penyakit dalam tubuh bukan dua individu yang bertarung. Maka perlulah sedikit refleksi yang saya tuangkan dalam tulisan ini agar kedepanya kita sebagai Nation dapat memahami betapa pentingnya persaudaran kita tentang sebuah pengambilan kebijakan Negara yang bertujuan pada rakyat bukan kepentingan individu maupun kelompok.




[1]  Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
[2] PDIKM ( Pusat Data dan Informasi Kebudayaan Minangkabau )
[3]  Ir. Edison Ms., SH, M.Kn. dan Nasrun Dt. Marajo Sungut. Tambo Minangkabau budaya dan hukum  adat di Minangkabau. Kristal Multimedia. Sumatera Barat. 2010. Halaman  92
[4]  PDIKM ( Pusat Data dan Informasi Kebudayaan Minangkabau )
[5]  PDIKM ( Pusat Data dan Informasi Kebudayaan Minangkabau )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Bappenas Pernah Jadi Monumen Yahudi ?

sang revolusioner jalan pembebasan atau jalan munuju tangga kekuasaan ?