Malam dipinggirnya Jakarta

Ku lihat pemancar menjulang tinggi dengan cakar ayam yang kuat, mungkin...
Diantara dahan daun lebar yang sayup dan gulitanya malam, serangga kecil mencoba memasuki hidupnya menari-nari dalam belukar tetumbuhan , entahh bagaimana perasaanya...
Yang pasti ini hanya deskripsi saat ini, dimana aku tak tahu siapa aku dan aku tak tahu kenapa harus menuliskanya...
Dahulu bangku sekolah mengajarkan ku tentang perasaan, harus begitu halus sehingga tak ada luka yang digoreskanya, dia nak... antitesanya amarah
Seiring waktu berjalan ;
Detik
Jam
Hari
Minggu
bulan
Dan tahun
Perasaan itu semakin menjangkau dimensi yang lebih luas, menjangkau sesuatu yang tidak diajarkan oleh guru-guruku dahulu, aku tak tau apakah aku sadar atau tidak, yang pasti aku yakin aku berada dalam getaran semesta dan fikiranku melayang-layang dalam alunan udara mungkin menembus wilayah metafisika...

Perasaan itu banyak dibahas dalam pergaulan hidupku, entah kawan, orang tua, atau siapapun yang mau mengatakanya
Pernah suatu ketika aku merasakan perasaan yang halus, aku kira guruku benar dan aku harus berterimakasih kepada setiap yang menafsirkanya ;
Tapi seketika itu hilang, dan aku katakan perasaan adalah omongkosong, ia tak kebih dari pada tumpukan kata yang diamini manusia bodoh yang terseret dalam kesalahan kemudi hati
Apakah perasaan adalah yang datang dan hilang ?
Apakah harus seperti itu atau memang seperti itu ?
Katakan keniscayaan...
Atau adakah perasaan yang abadi ?

Aku masih belum mengerti, aku meragukan perasaanku saat ini, mungkin tak selamanya

Dimana yang abadi ?
Siapakah yang abadi ?
Aku ingin menyentuhnya, bukan lagi...
Tapi yang pertama kali dan kekal abadi

Tangerang, jum'at-31-03-2017
#diluarteksdominan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Bappenas Pernah Jadi Monumen Yahudi ?

sang revolusioner jalan pembebasan atau jalan munuju tangga kekuasaan ?