Istano Baso Pagaruyung

Sumatera Barat telah memberikan arti, makna, pengalaman yang sangat berharga bagi kehidupan, bukan saja memperluas sebuah wawasan akan kaya nya kebudayaan Bangsa kita namun juga merubah cara pandang serta bertindak kita jika saja kita menyadarinya.

Mengingat dewasa ini Bangsa kita sedang dirundung isu SARA yang murahan itu yang dibungkus oleh wacana-wacana politik sampah konsekuensinya tentu kita sadari bersama yakni disintegrasi bangsa.

Terlepas dari wacana tersebut ada baiknya kita menyelami hakikat dari kebudayaan itu sendiri yang niscaya akan ada bentuk perbedaanya. Namun, yang akan saya bahas disini mencakup nilai-nilai budaya yang khususnya berada di Tanah Datar Sumatera Barat ini yakni Istano Baso Pagaruyung.

Seperti yang saya alami ketika berada di Istano Baso Pagaruyung, destinasi wisata ini cukup menarik perhatian karena khazanah historisnya dan nilai-nilai budaya yang terkandung, belum lagi ditopang oleh panorama alam yang memanjakan mata, membuat sekelumit persoalan kota menjadi hilang. Wisata tersebut cocok bagi segala umur karena memang sangat edukatif, maksudnya tidak hanya enak dipandang mata tetapi juga mempunyai nilai-nilai tertentu yang memperkaya wawasan kita.

Kembali ke fokus pembahasan, saya akan menggambarkan istana ini sesuai apa yang dijelaskan oleh tour guide yang bertugas di Istano Baso Pagaruyung tersebut.

Menurut beliau, istana Baso Pagaruyung adalah kebanggaan masyarakat Minangkabau atau semacam simbol yang mengatakan ciri khas dari kebudayaan Minang. Maksudnya istana tersebut yang secara representatif arsitektur dan pemaknaan didalamnya adalah gabungan dari macam rupa arsitektur dan makna nya setiap wilayah yang ada di Sumatera Barat, termasuk Padang, Agam, Bukittinggi, Payakumbuh, Pariaman dan sebaginya.

Secara historis dan nilai budaya adat, istana raja tidak secara langsung memerintah wilayah-wilayah diluarnya tetapi hanya secara legal diakui, tidak seperti sistem pemerintahan istana-istana kerjaan di Jawa yang segala kebijakan pemerintahan ada di tangan seorang raja, namun berbeda dengan konsep pemerintahan yang ada di Sumatera Barat dimana terdapat :
1. Konsep Raja Alam
2. Konsep Raja Ibadat
3. Konsep Raja Ibadat

Menurut saya sesuai dengan pengalaman saya membaca literatur karangan Tan Malaka, Hatta, dan Soekarno banyak dari asumsi mereka bahwa sebenarnya konsep musuawarah mufakat telah ada lama dalam kebudayaan asli bangsa Indonesia, yakni di ranah Minangkabau itu sendiri. Ada sistem pemerintahan yang bernama 'body chaniago' yakni suatu sistem pemerintahan yang berasal dari ranah Minangkabau dan sangat syarat dengan aturan-aturan musyawarah mufakat atau menghargai pendapat orang lain dimana letak baik dan buruknya ditimbang sesuai dengan kesepakatan umum. Artinya bahwa kita mempunyai kebanggaan demokrasi yang kita pakai yang tertera di dalam 'Pancasila' sila keempat tersebut tidak menjiplak produk 'Barat' (Negara Eropa dan Amerika Serikat).

Akhirnya ditengah persoalan bangsa yang sedang santer menyeruaknya isu SARA dan ketimpangan sosial dimana para pengambil kebijaksanaan tidak mengikutsertakan rakyat sebagai elemen kunci dalam sistem demokrasi, kita harus kembali menyadari dan merefleksikan nilai-nilai luhur Bangsa Indonesia bahwa masih banyak hal yang kita tidak ketahui sebagai manusia yang terbatas pengetahuanya dan tidak ada salahnya jika kita terus belajar dam berproses menjadi manusia yang berkebudayaan (Ki hajar Dewantara). Jika kita tidak ingin belajar untuk mengetahui sesuatu diluar kita bagaimana kita bisa bijaksana ? Jika kita adalah pemimpin kita harus tau seluk-beluk persoalan yang ada agar tidak salah dalam pengambilan keputusan, atau yang lebih parah ketika ketahuan itu telah kita miliki dan kita tidak sadari akan sangat berbahaya bagi nasib suatu Bangsa yang memperjuangkan nasim khalayak ramai, maka dari itu diperlukan kesadaran sejarah dan kebudayaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Bappenas Pernah Jadi Monumen Yahudi ?

sang revolusioner jalan pembebasan atau jalan munuju tangga kekuasaan ?