Dialog dengan seorang rantau

Dini hari ini hujan menghujam renda-renda pernikahan kawanku,  membawa angin yang kini berkawan dengan seorang lajang.

Seseorang tanpa ku kenal datang menghampiri kami yang sedang bercanda gurau melucukan segala persoalan hidup, bukan cercaan tetapi sekedar menghibur pelipur lara sekawan yang tergoncang atau barangkali hanya sekedar menghidupkan suasana yang diliputi kegembiraan. Ya...pernikahan dua anak manusia, manusia yang harus meneruskan tugas suci atau kutukan Tuhanya itu, tergantung dalam kepala siapa pemikiran bersemayam tentunya bagiku itu termasuk sesuatu yang suci.

Seorang rantau !
Aku bahkan tak sempat bertanya, hanya menyimak di setiap kalimat-kalimat sabda nya. Ku anggap begitu, bagaikan dosen yang sedang menerangkan teori-teori di dalam perkuliahan ini masih bisa ku sangkal. Maka ku sebut ia semacam memuntahkan mantra-mantra nya untuk segerombol pemuda, yang mungkin dianggapnya perlu untuk tahu.

Datang dan berbicara tentang sebuah kehidupan. Aku seperti ditelanjangi senjata kata nya, walaupun mungkin ia merasa seorang dewasa yang bercerita kepada anak-anaknya.

Tetapi aku bukan anaknya, juga kawanku. Perlawanan di dalam kepala itu ada, tetapi kalimatnya semakin menarik hingga ku putuskan mengosongkan isi kepala, hanya untuk menyimak sabda sang rantau ini.  Ya...sesekali aku bertanya karena penasaran juga.

Ada 2 inti gagasan yang aku terima aku simpan dalam fikiran dari sabdanya itu :
1. Prinsip rezeki
2. Prinsip pasangan
3. Prinsip Tahta/Kekuasaan ? Aku kira ia tak pernah menyentuh wilayah ini.
Jadi hanya 2.

"Kau hanya perlu dengarkan, ambil yang berguna buang yang tidak dikeranjang sampah" tuturnya.

Bibirnya, terus menghisap rokok putih mengepulkan asap-asap kebebasanya, ya...kebebasan bercerita tanpa kaidah-kaidah ilmiah selama apa yang ku yakini dalam dunia intelektual. Ia hanya menggunakan pengalaman. Dimana dirinya membelah keras nya alam Jakarta, katanya.

Kupandangi wajah semeringahnya dengan kerut-kerut wajah nya yang lelah. Menandakan sebaris kata-kata perjuangan kerasnya.

Rezeki, baginya harus mempunyai prinsip. Dikatakanya bahwa sebagai perantau ia telah banyak mengalami pahit manis nya hidup, atau bahkan pahit yang akut telah membangkitkanya dari seorang tanpa daya menjadi terserap kekuatan daya semesta dalam dirinya.

Prinsip itu sederhana " tanah, rumah sebagai pondasinya jika tak mampu membeli jangan jual" ia menganalogikanya dengan diriku sebagai masyarakat betawi, sebenernya hal ini pun tak asing namun karena katanya menusuk tajam kearahku jadi aku meresapi juga kata-katanya, sekaligus mengiyakanya. Panjang lebar ia menanamkan pupuk katanya, termasuk kenapa masyarakat betawi di jantung kota sudah sangat sedikit ? Mereka semua menyingkir ke sudut-sudut kota, isinya ? Mengapa ? Dan sebagainya. Bagiku nanti berharap tumbuh subur dengan segala manfaat yang ku setujui.

Pasangan, menurutnya semua sisi ini diukur dengan kekuatan ekonomi. Bagiku, ia semacam mengidap marxisfobia atau barangkali pernah membaca manifesto komunis, Das Capital kritik Marx terhadap sistemik kapitalisme itu. Padahal kenyataanya, ia hanya seorang awam bahkan tak sempat menyentuh karya-karya epistemologi kiri tersebut, mungkin pengalaman sebagai orang rantau yang membentuk persepsinya.

Dari kontruksi bahasa yang dibangun era kapitalisme global tentang :
1. Harta
2. Tahta
3. Wanita

Hanya tahta yang ia tidak sentuh, mengapa ?
Karenia ia hanya orang biasa dengan mimpi-mimpi yang sederhana, yang tidak mempunyai kedalam akses-akses birokrasi bahkan petinggi-petinggi korporasi ekonomi. Baginya, bertahan hidup saja sudah anugerah apalagi mempertahankan asetnya agar hidup tak terlindas oleh kesusahan membelit.

Lalu bagaimana dengan tahta ? Bagiku itu alamaiah, asal dilakukan dengan ikhlas dan pertanggungjawaban. Melakukanya dengan esensial bukan formal, melaksanakanya dengan membentuk kesadaran kemanusiaan bukan sekedar festival perayaan.

Dari dialog yang berjalan, ada sesuatu hal yang memang perlu jadi bahan pertimbangan dan juga ada yang perlu di buang dalam keranjang ide.
Yang pertama bagiku itu masuk akal, karena penekanan-penekanan pengalaman.
Yang kedua, tidak semuanya harus digerakan oleh faktor ekonomi, walaupun harus realistis di tengah arus kehidupan serba uang. Tapi ada yang dilupakan yaitu persoalan rasa, karena rasa itu adalah kehendak yang tidak bisa dikehendaki, ia pemberianya Tuhan yang dijalankan manusia dengan kesadaran dan ketidaksadaran.

akhirnya semua hanya kata, yang bisa dibuat oleh manusia dengan ketidakteraturan pikiranya, namun bagiku semua orang adalah guru bagi dirinya masing-masing dan pada masing-masing guru ada hal penting yang perlu disampaikanya. Seperti apa yang dikatakan Gramsci "semua orang adalah intelektual" jadi dengan siapapun tanpa batas apapun manusia bisa saling belajar memahami dunia yang tidak terbatas ini, mengulik persoalan yang tidak ada habisnya ini.

Jam menunjukan pukul 03.28, pembicaraan terhenti. Aku manusia dan kau manusia.

Dialog dengan seorang rantau ~

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Bappenas Pernah Jadi Monumen Yahudi ?

sang revolusioner jalan pembebasan atau jalan munuju tangga kekuasaan ?