Apalah arti hidup tanpa arti ?

Seorang guru berseru pada murid-muridnya ; kau hendak jadi apa jikalau sudah besar nanti ?

Beberapa diantaranya bercericau, diantaranya bungkam tanpa alih-alih suara.

Ya, kau coba ingin jadi apa kelak ? Sambar seorang guru tersebut.

Aku hendak jadi pemimpin pak, tegasnya. Cita-cita yang bagus, satu untuk semua, tandasnya.

Kemudian, kau ingin jadi apa kelak nak ? Guru itu meneruskan.

Aku berkeingin menjadi seorang pengusaha produk makanan pak, sekenanya. Itu pun bagus, semua untuk satu. Tegasnya lagi meyakinkan.

Hujan belum juga reda, turun berlebat-lebat membasahi daratan kehidupan. Sang pemberi anugerah atau malah malapetaka, tergantung ada di sarang kepala siapa pendapat.

Guru tersebut menarik nafas dalam-dalam dan dikeluarkanya sebuah petuah-petuah. Hendak diapakan nanti oleh sang penerima tergantung dari tragedi yang dilaluinya, yang pasti, gumamnya. Seorang guru harus memberikan gambaran yang positif tentang hidup ini agar kelak generasi mendatang dapat menimbang-nimbang segala daya upaya perbuatanya yakni, melalui akal dan nuraninya.
Mungkin teringat petuah Pramoedya Ananta Toer dalam roman bumi manusia " Seorang terpelajar sudah harus adil dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan " itulah beban terberat dalam peradaban intelektual, apalagi guru sang ibu intelektual.
Atau barangkali teringat Hamka dalam literatur Falsafah Hidup " Jika hidup hanya sekedar hidup, babi dihutan juga hidup, jika kerja hanya sekedar kerja, kera dihutan juga bekerja "

Mengganggu, barangkali sangat menggusarkan. Tanggungjawab yang berat. Pencipta insan dunia dan akhirat.

Akhirnya dalam berat nafasnya termuntahkanlah sabdanya ; Nak, jikalau kita hendak pikirkan tujuan hidup untuk masa depan hendak menjadi apa itu baik, tandanya kita punya orientasi sebagai manusia. Tetapi harus ada pedoman yang melandasinya.

Apa itu pak ? Sekilas menyambar.

Kemanusiaan. Pungkasnya'

Bel berbunyi, tringgggg...tringggg
Tanda habis pelajaran ilmu sejarah

Murid-murid segera bersiap-siap.

Sang guru masih berdiri memandangi muridnya, sambil pikiran nya terbang dalam udara bebas dan berseraya " Jika ilmu sejarah yang berbicara tentang yang lampau saja mereka jengah bagaimana menangkap arti dibaliknya, apalagi ilmu lain semoga tidak hanya berbicara tentang angka, lapisan bumi, hewani, tetumbuhan, bahasa, doa-doa, tapi lebih dari itu menyelami makna nya. Semua itu mungkin butuh proses, optimis nya menyala.

Pikiran itu kembali dalam sarang otaknya, kemudian sigap sang guru intruksi kan berdoa. Ya, pada yang kuasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gedung Bappenas Pernah Jadi Monumen Yahudi ?

sang revolusioner jalan pembebasan atau jalan munuju tangga kekuasaan ?